5.2 Peran Teknologi Media
Berdasarkan dari hasil analisis data yang tercantum dalam gambar 5.1, bahwa dapat dijelaskan penelitian ini memiliki temuan terkait inovasi pengembangan media komunitas yang menggunakan teknologi internet. Pada awalnya, radio komunitas merupakan media satu-satunya yang menjalankan tugas Bali Buja untuk menyiarkan konten hasil pertunjukan seni. Namun, keterbatasan yang dimiliki radio komunitas kemudian menjadikan motivasi bagi Bali Buja untuk melakukan eksplorasi terhadap aneka ragam pilihan teknologi media. Hasil studi ini menegaskan bahwa eksistensi Bali Buja untuk melakukan langkah besar dalam mengatasi kendala akses yaitu didorong oleh gagasan relawan donatur. Keinginan untuk mempromosikan seni tradisional lebih luas kepada warga dunia adalah salah satu alasan relawan donatur.
Penelitian berkaitan media komunitas telah berargumentasi selama beberapa waktu bahwa dengan memfasilitasi masyarakat “biasa” dengan teknologi media serta mendorong mereka untuk membuat konten lokal akan membentuk mereka menjadi ‘warga negara yang aktif’ (Fox, 2019; Rodríguez, 2001). Teknologi media memungkinkan bagi pengelola media untuk menyampaikan dengan beragam cara untuk ‘berkomunikasi’ baik dalam jenis informasi yang disajikan maupun dalam cara kita mengalaminya (Croteau & Hoynes, 2018). Media komunitas berbasis teknologi media seperti internet dapat membantu pemberdayaan masyarakat ‘biasa’ (Tacchi et al., 2009) serta menjadi daya tarik bagi lembaga-lembaga yang peduli atas pembangunan masyarakat. Teknologi media merupakan bagian dari teknologi informasi dan komunikasi yang dieksploitasi dalam program-program bagi negara berkembang (Achimugu et al., 2009; Bhatnagar, 2000; Krishna & Madon, 2018; Quibria & Tschang, 2001; Wu et al., 2018). Teknologi media kemudian menjadi komponen pembangunan dan bagian alat komunikasi untuk perubahan sosial.
Bachall (2019a, 2019b) mengungkap istilah loonshots yang didefinisikan sebagai proyek kreatif yang tidak dianggap pada awalnya, namun kemudian proyek tersebut berhasil mendisrupsi pasar. Teknologi media berbasis internet menciptakan loonshots, sebuah inovasi yang mengubah industri. Loonshots merupakan sebuah inovasi. Kemudian bagaimana penerapannya dengan media? Krumsvik (2019) menyebut penerapan teknologi media sebagai inovasi media. Pengembangan platform media baru, model bisnis baru, dan cara baru memproduksi teks atau genre media adalah contoh inovasi media. Perubahan dalam produk, proses, posisi, paradigma, genre, dan masyarakat termasuk dalam definisi inovasi media (Francis & Bessant, 2005). Inovasi media adalah inovasi dalam praktik media, setidaknya melalui perubahan teknologi media (Bruns, 2014). Seperti halnya dengan teknologi media, perubahan praktik media mencerminkan perubahan cara orang menggunakan media. Baik inovasi komersial dan nirlaba dapat mengambil manfaat dari pendekatan loonshots ini. Seperti yang telah diungkap pada bab sebelumnya, platform internet menjadi pilihah utama Bali Buja. Media daring yang sebelumnya belum dilirik oleh pengusaha media di Klaten, menjadi opsi utama Bali Buja untuk kemudian mengolah teknologi media sebagai landasan media hiperlokal. Mereka meyakini keterlibatan partisipasi masyarakat Bali Buja akan mengatasi kendala adaptasi terhadap teknologi.
Salah satu inovasi yang berkembang akibat dari teknologi informasi dan komunikasi yaitu platform. Platform memiliki karakteristik tersendiri sebagai hasil inovasi (Kasali, 2018), plaftorm merupakan bentuk ekstensi dari ‘produk’. Masyarakat lebih mengenal dengan istilah produk. Produk didefinisikan sebagai bentuk bahan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Terdapat perbedaan cara memahami antara produk dengan platform. Ketika produk lebih mengutamakan penggunaan satu fungsi dan tujuan yang dapat dimanfaatkan penggunanya, sedangkan platform mengutamakan kepada pemanfaatan beragam produk untuk berbagai tujuan.
Secara umum diyakini bahwa konvergensi benar-benar terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan pesat penggunaan internet dan perangkat multi-media, serta meningkatnya ketersediaan konten media di beragam platform (Doyle, 2010b). Platform semakin banyak dikenal dan diketahui oleh orang bersamaan dengan berkembangnya era digital, dimana banyak produk aplikasi yang bermunculan berbasis platform. Aneka kebutuhan masyarakat dapat diselesaikan dengan cara mengakses platform. Tidak dapat dipungkiri platform kemudian mengubah interaksi khalayak, baik sebagai produsen ataupun konsumen. Sebagai tambahannya, adanya platform menciptakan interaksi yang beragam antara pengguna.
Bali Buja sebagai bagian dari komunitas budaya turut mengembangkan media komunitas. Sebuah literatur menunjukkan upaya partisipasi masyarakat dalam membangun media disebut sebagai media warga. Rodríguez (2014) menyebut media warga sebagai sebuah konsep yang menyiratkan teknis kolektif media baru disertai interaksi sosial yang dilembagakan, identitas yang dilegitimasi, dengan memberdayakan komunitas (J. Downing, 2012). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah media komunitas yang jika dikaitkan dengan konsep media warga memiliki kesamaan tujuan yaitu adanya komunikasi
yang dikirim dari satu tempat dan diterima di banyak tempat oleh khalayak luas. Istilah media komunitas sebagai ‘media warga’ mendorong proses media dua arah, yang mencerminkan komunikasi partisipatif dan meningkatkan akses media melalui jaringan dan penyiaran warga ke warga.
Sebagai sebuah komunitas yang bergerak dalam kepedulian terhadap eksistensi seni dan budaya Jawa, Bali Buja berupaya melakukan beberapa aktivitas dengan memanfaatkan media komunitas. Pada dasarnya, peran Bali Buja adalah mengumpulkan kelompok- kelompok kecil seni di Klaten dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk tampil. Sebelumnya, di Klaten juga telah banyak kelompok-kelompok seni budaya yang melakukan latihan dan berbagi apresiasi. Ada beberapa pertunjukan seni yang secara rutin didukung oleh Pemerintah Daerah, namun demikian beberapa komunitas juga lahir secara independen untuk bergerak mandiri dilandasi dengan kecintaannya terhadap kesenian.

Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti
Bali Buja sebagai paguyuban dapati dikategorikan sebagai “asosiasi” yang menaungi kelompok-kelompok seni budaya. Studi ini menunjukkan bahwa peran Bali Buja hampir mendekati konsep agregator. Disebut sebagai agregator karena Bali Buja berupaya menyatukan kelompok-kelompok seni dan budaya yang sebelumnya tidak memiliki tempat di media arus utama dan tidak mudah untuk mendapatkan kesempatan tampil di panggung khusus pada media-media konvensional seperti panggung terbuka. Bali Buja meyakini bahwa kelompok seni yang diisi oleh ‘warga biasa’ tersebut justru membawa nilai-nilai kearifan lokal yang berlandaskan filosofi kehidupan yang mereka telah yakini.

Sumber: Dokumentasi Tim Bali Buja
Keputusan Bali Buja dalam menggunakan teknologi media baru berbasis internet dicapai setelah melewati beberapa tahapan diskusi. Koordinator komunitas mengadakan diskusi dengan relawan, dan pengelola media komunitas untuk menggagas pola distribusi konten Bali Buja. Diawali dengan rutin mengadakan aksi ekspresi kesenian pada panggung- panggung kesenian rakyat, kemudia Bali Buja bekerja untuk menghasilkan gagasan menampilkan pertunjukan seni kepada khalayak yang lebih luas. Publikasi konten yang menggunakan media massa, selain digunakan sebagai media eksistensi, merupakan langkah Bali Buja untuk ketahanan budaya. Bali Buja menginginkan generasi muda akan terus menghargai budaya tradisional mereka serta memahami nilai-nilai kearifan lokal.
Salah satu gagasan awal yang menjadi hasil diskusi antar pengelola Bali Buja adalah keinginan untuk mendirikan radio komunitas atau televisi komunitas. Namun, setelah mempelajari tahapan pendirian, pertimbangan perizinan dan beberapa regulasi yang harus dihadapi, Bali Buja kemudian memilih untuk mendahulukaan pola kerjasama dengan media komunitas yang telah beroperasi.
RKB merupakan radio komunitas yang menjadi pilihan awal kerja kolaborasi Bali Buja. Sebagai konsekuensi dari pengembangan media baru yang digagas Bali Buja, pengelola RKB kemudian turut mempelajari teknik relai dalam model penyiaran mereka serta model siaran langsung live streaming. Konvergensi media yang dioperasikan oleh RKB mendapatkan respon dari luar lokasi pertunjukan, salah satu pengrawit Bali Buja yang juga pengamat Bali Buja yaitu Pak Martani menyampaikan informasi demikian.
“Kerap nyetel, penonton di luar, ada Youtube, ada streaming dari rumah, sekarang disiarkan RKB, sarananya banyak” (Ramadhan & Yuliansyah, 2019)
Perbedaan utama antara kelompok seni yang bergabung dalam Bali Buja dengan kelompok-kelompok seni yang sebelumnya telah berhasil pentas dalam panggung-panggung yang disediakan oleh pemerintah ataupun media arus utama yaitu terletak pada kemampuan para pelaku seninya. Mereka memiliki skill atau kemampuan yan beragam. Ada kelompok warga yang memang telah terlatih dengan baik, namun ada sekelompok anggota yang masih mempelajari teknik. Bagi kelompok semacam ini, kesempatan untuk dapat tampil dalam media arus utama tentu mengalami kendala. Media arus utama akan melihat mereka belum layak tampil. Karakter media arus utama memang harus selektif dalam menayangkan konten. Mereka akan lebih memilih untuk memberikan kesempatan kepada komunitas yang telah dianggap “jadi” dan siap tampil di depan publik.
Peneliti menunjukkan bahwa kelompok-kelompok seni yang dikategorikan belum layak tampil pada media arus utama sebenarnya tetap memiliki hak yang sama untuk berekspresi kesenian. Bahkan, berdasarkan pengamatan peneliti, setiap komunitas yang akan tampil melalui media Bali Buja, mereka pun mengadakan serangkaian latihan terlebih dahulu. Tidak hanya menjalan latihan, Koordinator Bali Buja pun turut memantau hasil latihan mereka.

Sumber: Dokumenter Bali Buja
Perkembangan platform media sosial turut menyumbangkan ruang baru bagi keberadaan konten lokal. Beberapa laporan sebelumnya menunjukkan aksi seniman tradisional yang telah memiliki fans atau massa dalam menggunakan aplikasi YouTube. Ki Dalang Seno (Almarhum Ki Seno Nugroho) adalah salah satu dalang yang dianggap pionir dalam mengelola secara profesional kanal akun YouTube. Kanal YouTube Ki Dalang Seno tidak hanya mendapatkan atensi dari kalangan masyarakat yang telah mengenal dalang Seno sebelumnya, melainkan juga turut menerima perhatian masyarakat yang merasa peduli dengan seni Wayang dari berbagai wilayah. Keberhasilan Ki Seno Nugroho kemudian diikuti oleh beberapa seniman wayang lainnya.
Beberapa seni tradisional kemudian juga turut memanfaatkan sarana teknologi berbasis internet untuk dijadikan sebagai sarana berekspresi. Pemanfaatan teknologi media disebut sebagai bagian upaya seniman untuk menjaga eksistensinya. Ketika media arus utama mulai mengurangi jatah penampilan tradisional atau seni budaya, seniman justru cenderung mempertimbangkan keberadaan multi-platform.
Penggunaan media baru cenderung dipilih karena kemampuan meraih khalayak yang lebih luas tanpa dibatasi dengan area geografis. Berdasarkan penelusuran peneliti, media lokal seperti media-media turunan dari media nasional juga berupaya untuk menjaga konten lokal. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah konten bermuatan lokal yang mendominasi konten- konten yang ditampilkan pada media lokal.
TVRI, sebagai stasiun televisi nasional juga menggunakan sarana internet untuk kebutuhan penyiaran berbasis streaming. TVRI merespon keberadaan media baru dengan menghadirkan aplikasi yang dapat diunduh melalui smartphone. Dalam aplikasi tersebut, terdapat fitur yang dapat mengajak pengguna untuk memilih tayangan-tayangan lokal sesuai keinginan. Masyarakat diberikan kesempatan untuk mengakses TVRI sesuai dengan wilayah mereka tinggal. Namun demikian, terdapat perubahan kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi media. Misalnya kebiasaan mengkonsumsi streaming melalui situs web, sebenarnya sudah menjadi salah satu alternatif pilihan masyarakat. Namun, khalayak masyarakat cenderung akan mengkonsumsi konten yang sesuai dengan cara yang mereka anggap paling mudah.
Seleksi khalayak dalam memilih konten dapat disebut sebagai konten berbasis on- demand. Masyarakat memilih konten yang disesuaikan dengan kebutuhannya saat itu. Kebutuhan yang semakin memenuhi ceruk khusus ini dimaknai sebagai pergeseran model bisnis media menuju “ceruk pasar” (C. Cook & Sirkkunen, 2013; Hess & Waller, 2016). Perspektif ini kemudian memberikan jalan baru untuk keberlanjutan operasional media massa di era digital. YouTube kemudian semakin dipertimbangkan kehadirannya, salah satu alasannya adalah kemudahan masyarakat dalam mengakses media melalui platform tersebut.
YouTube semakin populer karena memberikan kemudahan baik untuk kreator konten ataupun penggunanya. Pemilihan aplikasi yang masuk kategori media sosial seperti YouTube, Facebook atau Instagram oleh seniman-seniman dilandasi karena kemudahan masyarakat dalam mengakses aplikasi. Di samping itu, seniman juga dimudahkan dengan pengembangan media ekspresi melalui perangkat yang memang telah menjadi alat komunikasi sehari-hari seperti telepon pintar dan komputer.
Teknologi media dianggap berhasil dalam upaya menyebarluaskan ekspresi kesenian secara luas. Sebuah kondisi yang sebelumnya cukup sulit ketika ingin meraih massa secara luas dengan masif. Seperti yang telah diungkap di atas, perubahan kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi konten turut mendorong keberadaan teknologi media berbasis internet. Masyarakat semakin meninggalkan model konsumsi pada media konvensional seperti televisi, terutama di kota-kota besar, dan menggantikannya dengan konsumsi konten hiburan melalui media berbasis internet. Sebagai konsekuensi dari kebiasaan masyarakat ketika mengkonsumsi konten. Peralihan pun turut terjadi dari sudut pandang kreator konten. Masyarakat yang sebelumnya intens sebagai penonton kemudian termotivasi untuk memproduksi konten dan menyebarluaskan melalui fasilitas internet. Kreator konten juga dengan mudah mengelola kebutuhan produksinya. Produksi dapat dihasilkan tanpa perlu membutuhkan dukungan modal dan finansial yang besar.
Dalam tinjauan penelitian berikutnya, peneliti akan memaparkan keberadaan peran media komunitas yang semakin besar peluangnya jika dihadapkan dengan pemanfaatan teknologi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya media siber yang dianggap legal (karena tercatat ataupun dicatat oleh Dewan Pers) ataupun dianggap ilegal atau liar. Jika kembali menelusuri sejarah berkembangnya radio komunitas, pada dasarnya tumbuhnya media komunitas diawali dari semangat ‘radikal’ atau bagian perlawanan sebagian masyarakat terhadap akses media yang cenderung dikuasai oleh konglomerat pemegang kendali media arus utama. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa media komunitas dibatasi dengan adanya beragam undang-undang dan peraturan pemerintah.
Respon pemerintah terhadap era digitalisasi, membentuk sebuah argumen bahwa media komunitas ‘diarahkan’ untuk lebih melakukan optimalisasi dengan teknologi media berbasis internet dibandingkan fokus kepada jatah frekuensi. Sampai dengan laporan penelitian ini diangkat, secara spesifik pemerintah belum merilis peraturan yang mengikat bagi komunitas yang ingin mengembangkan media komunitas berbasis internet.