Radio Komunitas Bayat

5.3.2      Radio Komunitas Bayat

Sekilas mengenai sejarah radio komunitas di Indonesia, memang kemudian terdapat pembatasan-pembatasan yang diatur oleh pemerintah. Hal ini semata untuk menjaga keteraturan dalam berbagi informasi dan meminimalisir benturan yang terjadi antar warga masyarakat yang ingin berekspresi. Keberadaan peraturan jangkauan siaran 2,5 kilometer frekuensi misalnya yang cukup sering digaungkan oleh pejuang radio komunitas, tentu satu sisi memang memberatkan pengelola media komunitas. Namun, sisi lain dari peraturan ini dapat dipelajari bahwa memang untuk beberapa wilayah geografis cenderung padat penduduk dan padat media komunikasi seperti radio dan televisi perlu ditertibkan. Bagi sebagian pengelola media komunitas yang relatif ‘sepi’ penduduk, bahkan media penyiaran juga tidak banyak, apalagi ditunjang dengan jarak antar penduduk relatif jauh, peraturan pembatasan jarak jangkauan siaran memang terkesan tidak adil.

Radio Komunitas Bayat (RKB), seperti kebanyakan stasiun radio komunitas merupakan lembaga media (J. Downing, 2012) yang melakukan praktik media komunitas, alternatif, oposisi, partisipatif dan kolaboratif yang juga sebagian diperkuat oleh internet (Deuze, 2006). Pertemuan pertama peneliti dengan pengelola RKB diawali dengan Subari atau yang lebih sering dipanggil di dalam lingkungan komunitas dengan nama Mas Barun. Mas Barun adalah pemuda asli Klaten yang menjadi inisiator dari RKB. Selama perjalanan penelitian ini, peneliti memiliki kesempatan untuk melakukan kunjungan dan wawancara dengan Mas Barun dan tim di RKB.

Jarak antara studio RKB dan lokasi Bali Buja yaitu sekitar 19 kilometer. Studio RKB memiliki lokasi di daerah Kecamatan Bayat, Klaten. Bayat adalah salah satu kecamatan di bawah pemerintahan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Bayat juga dikenal menjadi daerah industri pariwisata seperti gerabah dan batik tulis (Rachmawati & Taryono, 2022). Mata pencaharian penduduk Bayat selain bertani yaitu sebagai pengrajin gerabah dan batik. Bayat diketahui berasal dari kata tem-bayat-an yang berarti hidup rukun saling membantu dan bersinergi (Fitinline, 2013). Literatur lainnya menyebutkan bayat berasal dari petembayatan, istilah yang terkait dengan syahadat tembayat (Kusuma, 2017).

Selama menyusuri jalan menuju studio RKB, peneliti melihat posisi lokasi RKB berada di antara beberapa desa yang masih memiliki cukup banyak lokasi lahan hijau. RKB memiliki lokasi studio yang menjadi satu dengan rumah Mas Barun. Sebagian ruangan dari rumah Mas Barun digunakan untuk sarana aktivitas RKB. Lokasinya dapat disebut sederhana. Ruangan yang digunakan RKB terdiri dari 4 bagian atau ruang, meliputi teras, satu ruang yang diisi dengan kursi panjang, satu studio dan satu ruangan teknis. Pada saat peneliti melakukan observasi pada bulan Maret 2021, RKB masuk pada masa vakum atau masa kosong karena terdampak pandemi Covid-19.  Peneliti tidak melihat aktivitas di RKB. Mas Barun menjelaskan bahwa selama pandemi, RKB otomatis juga menghentikan aktivitasnya untuk kegiatan radio komunitas, kegiatan membantu Bali Buja dalam menyiarkan siaran seni karawitan pun juga berhenti. Meski demikian, aktivitas Mas Barun juga tidak berhenti. Kecintaannya dengan seni dan budaya, termasuk minat yang besar untuk bisa tetap eksis melakukan siaran kemudian dilanjutkan dengan menerima tawaran untuk mengisi konten di Radio Wijaya Kusuma Klaten (RWK), radio swasta komersial yang mengudara di Klaten. Tawaran RWK merupakan bentuk kerjasama konten dengan RKB, setiap jam 8 malam, Mas Barun mengisi konten RWK dengan menggunakan sistem relay dari lokasi RKB. Hasil siaran Mas Barun di RKB kemudian dikirim melalui pemancar ke studio RWK.

Gambar 5.11 Studio RKB
Sumber: Dokumenter Bali Buja

RKB didirikan sebagai radio komunitas yang pada awalnya membantu menjadi sarana hiburan bagi warga Klaten pasca bencana gempa pada tahun 2006. Berangkat dari tujuan mulia Mas Barun dan teman-teman untuk memberikan hiburan sekaligus informasi kepada warga Klaten khususnya daerah Bayat, Mas Barun tidak memulai radio dari mengurus perizinan. RKB memiliki kelompok pendengar aktif yang turut berpartisipasi dalam siaran radio. Untuk memastikan RKB tetap berjalan legal dan tidak menjadi radio gelap, Mas Barun juga mengajukan proses perizinan. Namun, karena alasan perizinan yang tidak mudah dilakukan oleh Mas Barun, RKB kemudian tetap mengudara dengan caranya sendiri. RKB melibatkan khalayak  dalam praktik produksi media komunitas. Stasiun ini memiliki pendengar yang loyal karena hiburan yang ditawarkan oleh RKB fokus kepada konten seni dan budaya.

Gambar 5.12 Ruang Studio Siaran RKB
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perkenalan pertama peneliti dengan pengelola RKB adalah ketika melaksanakan perjalanan penelitian di lokasi Bali Buja melaksanakan aktivitas, yaitu di Grha Purbo Waseso Kencono. Peneliti melihat langsung bagaimana sosok Mas Barun, pengelola RKB yang pada saat pelaksanaan live streaming Bali Buja juga memiliki tanggung jawab untuk merekam audio kegiatan Bali Buja dan memastikan siaran dapat dipancarkan langsung melalui frekuensi. Mas Barun tinggal di Desa Bayat Klaten. Jarak antara Desa Bayat dan Desa Tlogo memiliki jarak 25 km. Masih dalam satu kabupaten yang sama yaitu Kabupaten Klaten namun berbeda Kecamatan. Desa Tlogo berada di Kecamatan Prambanan, sedangkan Desa Bayat termasuk dalam lingkungan Kecamatan Bayat. RKB sebagai radio komunitas mengudara dan menyiarkan siarannya melalui perangkat sederhana dan dipancarkan dari rumah pribadi Mas Barun. Sebagai sebuah radio siaran, posisi RKB merupakan siaran komunitas dan independen dikelola oleh masyarakat lokal.        RKB memiliki latar belakang pendirian yang unik, dimulai dari rasa empati Mas Barun pada saat terjadinya  bencana Gempa Bumi tahun 2006. Pada saat masyarakat yang sedang mengalami rasa ketakutan dan kecemasan. Mas Barun tergerak untuk memanfaatkan sarana teknis yang dimilikinya sebagai sarana media komunikasi. Awalnya, perangkat sederhana yang digunakan fokus pada media penyampaian pesan. Namun, Mas Barun melihat ini menjadi peluang untuk dijadikan sebagai media komunitas yang menyiarkan hiburan. Mas Barun memiliki tujuan utama untuk memberikan rasa senang kepada masyarakat.

Gambar 5.13 Konversi Format Lagu Oleh RKB
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Berdasarkan data yang dihimpun peneliti terdapat beberapa radio siaran yang mengudara melalui jalur frekuensi FM. Namun demikian, posisi RKB belum masuk ke dalam daftar radio yang diakui Pemerintah (KPID).

NoFrekuensiNama Pengelola RadioNama RadioLokasi
189,9 FMPT Radio Swara Sumbing Wijaya KusumaRWK FMJl Wijaya Kusuma, Klaten Tengah
291,6 FMLPPL Klaten/Radio Siaran Publik Daerah Kabupaten KlatenLPPL KlatenJl Pemuda, Klaten Tengah
396,6 FMPT Radio Bumi Candi SewuCandisewu FMJl Bhayangkara, Klaten Selatan
4103,3 FMPT Radio Suara Al-Mabrur BersinarSalma RadioJl Klaten-Solo, Klaten Utara
5107,7 FMBotani FM (Perkumpulan Komunitas Bolo Tani)BotaniJl Yogya Solo, Delanggu, Klaten
Tabel 5.1 Data Siaran Radio Klaten
Sumber: KPID Jateng
https://kpid.jatengprov.go.id/wp-content/uploads/2021/01/Data-Base-LP-2021-web.pdf

Salah satu alasan yang diungkap Mas Barun terkait permasalahan izin ini adalah pengalaman yang dianggap Mas Barun kompleks.

            “Pernah sempat ngurus.. gelombangnya radio komunitas kan 107… 108 he em… 107,7… 107,8.. 107,9.. Iya “dll” nya kudu.. kui regane jaman semono 10 juta dhewe PLL.. kuwi wis diarahkan.. tukune neng kono.. wis    kerjasama karo BalMon-e.. Gek ngriki ke Semarang kui adohe.. bola bali karepe niku ngeten.. kon mbayar wong njero kono. Digawekke dadi.. pirang puluh juta karep” (Barun)

Permasalahan biaya menjadi hal utama yang memberatkan pengelola RKB dalam mengurus perizinan. Mas Barun mengungkapkan bahwa untuk mengurus perizinan ada beberapa tahapan yang harus dilalui, diantaranya biaya standar peralatan yang tidak murah. Alih-alih menjadi jalur ‘bersuara’ bagi masyarakat lokal atau komunitas, tetapi keinginan membuat RKB menjadi ‘formal’ dan ‘legal’ menjadi berat karena terbebani biaya. Namun, hal tersebut bukan menjadi hambatan dan kendala besar yang membuat Mas Barun untuk mengembangkan RKB. 

Tahun berapa niku.. rung ewu piro mubeng-mubeng.. 2007-an…nggih.. dadi kulo niku diarahke nek ngurus dhewe gur diubeng-ubengke wae.. (menit 22:07) kon bali sik.. sesuk kon moron meneh. Wegah aku.. ngantek.. Kulo mrono ki peng swidak rolas.. wegah wektune.. angele.. terus kulo niku marai meng niku ngeten.. sing dilindungi hukum mung 2 kilo setengah.. radio komunitas itu.. itu dilindungi hukum.. ning mancare kliwat kui     yo rapopo ning nek ketumpuk yang lain.. munjul 2,5 ojo laporke.. kui wis ra dilindungi hukum.. 2,5 kuwi ono sing numpuk, lah kui laporno.. (nggak fair.. nggak adil)… lah nggih.. (beda wilayah beda daerah, yo sing ra ketutupan gunung).. lah mriki niki nggon gunung gunung je.. La nggih.. lah mung 2,5 ki dilindungi hukum ki.. ra kurup sing ubek usek.. la gek 2,5 ki dugi pundi.. cara wong siaran ki senenge nek monitore akeh ki.. adoh adoh” (Barun)

Regulasi yang ditetapkan Pemerintah seperti daya pancar yang dibatasi sekitar 2,5 kilometer dari lokasi siaran, menjadi pertimbangan Mas Barun dalam mengembangkan RKB akan menggunakan frekuensi ataupun jalur lain. Namun, sekitar tahun 2007, sebagai tahun-tahun awal RKB mengudara, pengelola belum memiliki kesempatan yang luas dalam menggunakan teknologi media berbasis internet. Hal ini menjadi berbeda jika dibandingkan dengan kondisi sepuluh tahun kemudian, yaitu 2017. Merujuk dari peraturan dan rancangan legal yang ditetapkan Pemerintah, Mas Barun menganggap terdapat ketidakadilan apa yang diterima sebagai radio komunitas.

Gambar 5.14 Praktik Siaran RKB