5.2.1      Komunikasi Partisipatif Dalam Media Komunitas

Media komunitas lahir atas pergerakan sekelompok masyarakat yang tidak ingin

terpengaruh dengan kekuasaan media arus utama. Media arus utama seperti televisi misalnya, akan secara spesifik menampilkan konten-konten yang bersifat umum dapat dikonsumsi oleh siapapun yang sedang memiliki kendali atas remote control. Kebutuhan khalayak menjadi seakan disesuaikan dengan arah tujuan para penguasa media. Konten- konten yang dihadirkan pun tidak secara spesifik mewakili setiap elemen kelompok masyarakat. Dalam kasus ini, media arus utama kemudian dikenal atas kemampuannya yang hanya menampilkan tayangan berdasarkan kepentingan penguasa media.

Bali Buja memiliki komitmen mengembangkan media komunitas yang berbasiskan partisipasi masyarakat. Rodríguez (2014) menyebutkan gerakan partisipasi masyarakat yang mengolah teknologi media dengan istilah media warga. Media warga didefinisikan sebagai media yang melepaskan diri dari definisi media yang kuat (media arus utama) dan media yang tidak berdaya (media alternatif). Media warga dianggap tidak membatasi potensi media alternatif yang memiliki kemampuan untuk melawan konglomerat media besar. Namun demikian, media warga memperhitungkan proses pemberdayaan masyarakat untuk tujuan ‘merebut kembali’ media mereka sendiri.

Bagi komunitas, konten-konten yang sifatnya generalisasi tidak sesuai dengan semangat independensi. Media berbasis kewargaan adalah salah satu bukti bahwa masyarakat semakin sensitif dan memiliki tingkat kepedulian yang tinggi untuk berbagi informasi yang dianggap lebih nyata dibutuhkan masyarakat. Status media “kewargaan” memang pada dasarnya memang tidak dipungkiri disematkan bagi pengelola media yang memang dianggap belum memiliki kompetensi dan kapabiltas dalam menyampaikan berita. Namun, dari hal tersebut dapat juga dikaitkan bahwa masyarakat tidak memiliki ‘kemerdekaan’ yang cukup luas ketika ingin tampil dalam media arus-utama.

Selain hadirnya jurnalisme warga, keberadaan media komunitas juga menjadi ‘suara ekstensi atas kebutuhan masyarakat’ yang tidak terpenuhi melalui media arus utama. Media komunitas biasanya cenderung fokus pada konten-konten yang memiliki semangat lokalitas yang tinggi. Radio komunitas misalnya, berdasarkan temuan pada kajian literatur sebelumnya, disebutkan di Indonesia cukup berkembang dengan pesat khususnya pada saat era transisi reformasi. Fenomena tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat menginginkan sebuah ruang publik dengan tingkat kesempatan partisipasi yang tinggi. Jika akses masyarakat dalam media arus utama dibatasi, berbeda dengan media komunitas. Bahkan jika dibandingkan dengan media lokal sekalipun, media komunitas memiliki tingkat partisipatif yang tinggi. Beberapa peneliti sebelumnya menyebutkan komunikasi partisipatif sebagai bagian dari bukti keterlibatan yang intensif bagi sekelompok masyarakat dalam membangun media komunitas.

Komunikasi partisipatif adalah bagian dari komunikasi pembangunan yang terkait dengan paradigma pembangunan modernisasi, ketergantungan, dan multiplisitas. Para pencipta paradigma modernisasi berasumsi bahwa faktor internal di setiap negara bertanggung jawab atas keterbelakangan dan dapat diatasi dengan bantuan negara maju (Servaes & Malikhao, 2008). Dengan kata lain, keterbelakangan yang terjadi di negara- negara dunia ketiga merupakan hasil dari masyarakat maju (Servaes, 1996). Namun demikian, komunikasi pembangunan pun terjadi dengan berkembangnya pesan-pesan program pembangunan yang ditransmisikan melalui komunikasi satu arah dari pusat (Servaes, 1989). Kritik terhadap paradigma pembangunan tersebut, kemudian muncul bentuk pembangunan baru dalam paradigma multiplisitas (Servaes, 2020). Konsep sentral dari paradigma multiplisitas adalah partisipasi masyarakat. Alat komunikasi dalam paradigma ini yaitu model partisipatif atau komunikasi bottom-up. Servaes (2020) menunjukkan bahwa model partisipatif menempatkan masyarakat di bawah kendali pengembang.

Gambar 5.5 Kelompok Seni Menggunakan Truk Datang Ke Lokasi Bali Buja
Sumber: Dokumenter Bali Buja

Langkah Bali Buja dalam mewujudkan komunikasi partisipatif anggotanya diawali dengan kerja kolaborasi dengan radio komunitas. Opsi awal pilihan radio komunitas bermula dari informasi salah satu anggota Bali Buja, bahwa di antara beberapa radio komunitas yang berkembang di Klaten, terdapat sebuah radio yang memiliki visi sama dengan Bali Buja yaitu peduli dengan keberadaan seni tradisional. RKB sebagai media komunitas pertama dari Bali Buja dikelola dengan model manajemen media komunitas yang secara independen dimiliki oleh warga Bayat. RKB dikenal oleh warga karena secara konsisten menyajikan konten dengan ragam kesenian seperti wayang kulit, karawitan dan campursari. Pada bagian lain bab ini, peneliti akan menyajikan informasi terkait RKB, mulai dari latar belakang RKB hingga motivasi yang mendorong pengelola RKB untuk tetap bertahan.