1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi inovasi komunitas agar produksi makna yang disampaikan melalui simbol kesenian tetap dapat diterima oleh masyarakat. Bagi komunitas pegiat seni dan budaya yang selalu berupaya konsisten menampilkan teks dengan makna publik, eksistensi menjadi penting, karena masuknya nilai-nilai dari budaya luar melalui arus globalisasi merupakan ancaman untuk budaya lokal yang memiliki citra lokalitas khas daerah (Irani & Noruzi, 2011; Keane et al., 2007; Paneli, 2017; Ullah & Ming Yit Ho, 2020). Mubah (2011) menyebutkan bahwa kesenian daerah akan berhadapan langsung dengan budaya populer yang lebih memiliki akses pada masyarakat karena dibagikan melalui media arus utama. Penelitian ini berargumen bahwa sebagai agen produksi makna (Carpentier et al., 2010), komunitas-komunitas tersebut tidak diuntungkan oleh media arus utama (Buckley, 2011; Matsaganis et al., 2010). Penyebabnya adalah karena komunitas semacam itu tidak memiliki kapasitas, baik otonomi dan otoritas, untuk merepresentasikan identitas dan kepentingan mereka (Birowo, 2005; Jurriëns, 2003; L. D. Setiawan, 2013). Sebuah konsekuensi yang harus dihadapi oleh komunitas ketika berusaha menjaga identitas lokal melalui produk budaya (Saddhono & Pramestuti, 2018; Surahman, 2016), sementara itu mereka harus tetap bertahan dan berhadapan langsung dengan kekuasaan serta beragam kepentingan globalisasi yang berada di belakang media arus utama (Soler & Marcé, 2018). Sifat dan pengaruh kepemilikan media arus utama juga telah lama menjadi bahan diskusi dan perdebatan di berbagai negara demokrasi (Chomsky, 1997; Herman & Chomsky, 2008; McChesney, 2008).
Penelitian ini melihat adopsi konsep media hiperlokal bagi komunitas budaya. Pada tataran konseptual, berkaitan dengan gagasan komunikasi kooperatif yang dikelola oleh sekelompok masyarakat terhadap inovasi teknologi media. Komunikasi kooperatif mengacu pada proses koordinasi penyampaian pesan agar sekelompok orang mencapai tujuan yang saling menguntungkan (Lull, 2020). Pemahaman kooperatif ini juga sejalan dengan konsep komunikasi partisipatif (Servaes & Malikhao, 2005; Tufte & Mefalopulos, 2009), yang menegaskan pada setiap individu memiliki hak yang sama dalam berbicara, baik secara individu ataupun kelompok. Pemberdayaan masyarakat yang diterapkan dalam masyarakat di area pinggiran atau di perdesaan akan mendapatkan dukungan dari nilai-nilai tradisi budaya. Di daerah Klaten, Jawa Tengah misalnya, tempat lokasi peneliti melakukan studi, dikenal dengan beberapa konsep falsafah hidup seperti memayu hayuning bawana (memperindah dunia) dan ngeli ning ora keli (mengalir tapi tidak hanyut dengan ikut arus). Falsafah berkehidupan memayu hayuning bawana menjadi panduan bagi masyarakat Jawa Tengah untuk tujuan komunikasi yang guyub (Endraswara, 2012b). Melalui pemahaman memayu hayuning bawana, masyarakat dengan budaya Jawa diingatkan atas kewajiban peran dalam meningkatkan daya tarik estetik dunia. Bagi masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah, konsep tersebut memberikan pesan untuk merasa menjaga keharmonisan alam semesta dan menghargai sesama. Masyarakat Jawa juga percaya bahwa seni dan budaya tradisional merupakan wahana dan media pendidikan karakter bagi masyarakat modern (Irawanto et al., 2011) khususnya generasi muda Jawa yang diharapkan menjadi agen utama pelestari kearifan lokal (Abdullah & Anggraeni, 2020; Udin et al., 2018). Pada dasarnya, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam setiap hasil karya seni dapat digunakan sebagai media komunikasi untuk memperkenalkan budaya termasuk menyampaikan pesan moral. Bagaimana nilai-nilai masa lalu di dalam teks lama perlu terus dilestarikan, revitalisasi, dan diaktualisasikan. Oleh karena itu, produk-produk seni yang menjadi bagian dari alat ketahanan budaya perlu diperhatikan. Berkembangnya media massa berbasis teknologi internet memiliki potensi untuk digunakan komunitas budaya.
Fokus kajian peneliti adalah media komunitas yang bertujuan melestarikan seni dan budaya tradisional. Sebagai inovasi pengembangan teknologi, media komunitas mengadopsi fitur teknologi internet. Peneliti menggunakan konsep media hiperlokal untuk mendefinisikan upaya media komunitas tersebut. Pada tingkat empiris, gagasan media komunitas berbasis teknologi seperti media hiperlokal menghadapi tantangan yaitu masih rendahnya kemampuan individu pengelola media komunitas dalam beradaptasi dengan teknologi terkini. Orang mungkin akan melihat bahwa masyarakat tradisional pada akhirnya akan sekadar menjadi sebagai pengguna produk perkembangan teknologi. Namun demikian, penelitian ini memiliki pandangan yang berbeda. Penelitian ini akan mengurai upaya kooperatif antara anggota komunitas yang dengan menggunakan prinsip nilai kebersamaan dan falsafah nilai Jawa berupaya mengembangkan media komunitas. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan untuk melihat ke dalam situasi komunitas budaya.
Fokus penelitian ini menunjukkan upaya komunitas budaya dalam mensiasati marjinalisasi konten budaya lokal melalui optimalisasi teknologi media. Penelitian ini berusaha menunjukkan media hiperlokal sebagai konsep media untuk memperbaiki masalah surutnya peran media arus utama untuk komunitas budaya yang terpinggirkan. Hal ini juga memungkinkan bagi peneliti untuk menunjukkan model partisipasi komunitas untuk mengatasi keterbatasan kemampuan SDM komunitas dalam mengoperasikan teknologi media. Kajian media hiperlokal merupakan minat baru dan belum banyak kajian media hiperlokal dengan konsep konten seni dan budaya. Seperti pemaparan sebelumnya pada bab ini, bahwa media hiperlokal memiliki karakter integrasi beragam platform dan memiliki kemampuan menjangkau lebih luas khalayak komunitas yang menjadi target sasaran.