Teknologi Media untuk Ketahanan Budaya

2.4       Teknologi Media untuk Ketahanan Budaya

Media komunitas diidentifikasi berskala kecil, dimiliki dan dioperasikan secara lokal, non-komersial, berkomitmen untuk kepentingan komunitasnya (Howley, 2009). Jankowski (2003) mempermasalahkan media komunitas yang berorientasi pada audiens yang terbatas secara geografis. Masalah utama dengan penjelasan tersebut adalah kesempatan sama untuk sekelompok masyarakat yang tidak terjangkau media arus utama. Layaknya media arus utama, media komunitas berkembang mengikuti keberadaan perkembangan teknologi. Media arus utama yang dimaksud antara lain: media radio, media televisi, serta media berbasis penggunaan TIK yaitu internet. 

Downing (2000) menunjukkan bahwa media arus utama memusatkan perhatian pada kepentingan arus utama, yang dianggap ‘asing’ oleh masyarakat kecil atau komunitas lokal. Pertumbuhan akses publik melalui media komunitas ataupun media publik disebut sebagai respon bersemangat dan penuh harapan terhadap tren globalisasi dan komersialisasi (Dharker et al., 1998). Konten dalam media komunitas seperti media lokal ataupun mediat etnis lebih memahami peran komunitas di bawah kekuatan globalisasi, keragaman populasi, dan teknologi komunikasi baru. Lin & Song (2006) berargumen bahwa globalisasi selalu dialami dalam konteks lokal. Kompleksitas yang terjadi di dalam manajemen media arus utama (Lowe, 2015) sebagai bagian dari industri media memengaruhi kualitas konten yang diproduksi. Nugroho, Putri, & Laksmi (2012) mencatat pertumbuhan media komunitas berkembang tetapi menghadapi kesulitan bersaing dengan media arus utama. Dalam pengelolaan media, kesulitan sering yang dihadapi oleh komunitas adalah perihal keuangan serta hukum yang dibuat oleh undang-undang (Milan, 2009). Perkembangan TIK menjadi pendorong pemberdayaan media komunitas. TIK memberikan kesempatan yang lebih leluasa bagi komunitas untuk berinovasi mewujudkan tujuan komunitas. Dengan media baru, media komunitas tidak lagi dibatasi oleh gerak kekuasaan, tidak lagi dibatasi oleh terbatasnya frekuensi. Bahkan dengan aneka ragam platform yang disediakan oleh internet, media komunitas mampu menggapai lebih banyak audiens dan tidak terbatas secara geografis.

Radio merupakan contoh jenis media komunitas yang mudah berkembang. Radio sejauh ini merupakan media yang populer digunakan komunitas baik nasional dan internasional (Forde et al., 2003). Berbeda dengan platform media sosial yang tidak dibatasi dan tidak dapat diandalkan, mediasi radio lokal dapat membantu mendorong pandangan yang lebih inklusif, konstruktif, dan hormat dari orang-orang dari berbagai sektor masyarakat (Nettlefold, 2019). Radio dianggap lebih mudah secara teknologi dan lebih mudah diakses oleh masyarakat (Belotti & Siares, 2017). Namun, radio juga sulit jika menjadi acuan jenis media utama bagi komunitas masyarakat dalam berekspresi. Kekuatan dari media arus utama berupa infrastruktur teknologi yang juga didukung oleh kebijakan regulasi yang cenderung berpihak pada media arus utama ataupun pemodal besar membuat media komunitas tidak mampu berbuat banyak (Y. Nugroho et al., 2012). Dalam analisis Deuze (2006), penggunaan internet yang dikembangkan melalui kolaborasi beragam fitur seperti blog, podcast, situs portal dapat menjadi optimisme baru untuk media dengan

organisasi berskala kecil atau bersifat lokal. Media komunitas memerlukan jenis fitur TIK atau platform yang sesuai dengan kondisi komunitas. McMullan (2017) mengembangkan teori teknologi fondasi yang memungkinkan platform daring berbasis perangkat lunak, seperti YouTube, Facebook, SoundCloud, Twitter disebut media digital.

Media komunitas pun berkembang menyesuaikan perkembangan TIK, mulai dari pemanfaatan radio, televisi, video, teater populer, media cetak, kemudian saat ini yang berkembang adalah media komunitas menggunakan teknologi internet internet (Forde et al., 2003). Menurut Howley (2002) praktik penggabungan media lama dan baru, seperti radio dan internet dilakukan untuk menjadi media komunikasi yang memproduksi budaya dan tempat negosiasi budaya yang dinamis. Gelombang baru dari TIK salah satunya melalui teknologi media yang disebut jaringan ‘internet 2.0’ telah menempatkan potensi partisipatif media berbasis internet (Carpentier & Scifo, 2010). Media digital disebut sebagai hubungan antara media lama dan media baru yang menawarkan kemampuan tingkat lebih tinggi serta kombinasi unik antara perangkat lunak dan perangkat keras (McMullan, 2017). Meskipun optimalisasi TIK merupakan peluang pengembangan bagi media komunitas, terdapat juga kemungkinan hambatan partisipasi masyarakat terkait dengan adopsi teknologi. Semujju (2014), dalam hasil penelitiannya menunjukkan kompleksitas yang dialami masyarakat saat memanfaatkan TIK, partisipasi masyarakat yang terbatas disebut sebagai ‘privilege’ bagi beberapa kelompok.

Masyarakat di pinggiran memiliki keterbatasan dalam akses informasi. Seperti pada pemaparan di atas, masyarakat pinggiran kurang mendapatkan akses untuk produksi konten lokal pada media arus-utama. Peran media komunitas untuk masyarakat pinggiran dianggap memiliki kemampuan sebagai media berekspresi seperti berbagi pandangan, keterampilan, sumber daya untuk masalah kepentingan minoritas (Deuze, 2006). Dalam konteks kemajuan teknologi, optimalisasi penggunaan TIK memberikan peluang pada komunitas masyarakat yang berada di area pinggiran untuk berekspresi. Media komunitas dipandang sebagai bagian dari proses pendidikan era redemokratisasi (Peruzzo, 1998) yang memberikan suara kepada masyarakat terpinggirkan melalui bentuk-bentuk alternatif produksi media (Mayer, 2015). Masyarakat dengan kreatif dapat mengangkat konten kearifan lokal yang menjadi ciri khas mereka, meskipun dengan infrastruktur teknologi yang juga cenderung tidak sederhana. Watson (2016) beargumen bahwa keterlibatan aktif yang tinggi antara produser lokal dengan publik lokal berperan penting untuk menunjukkan konten bernilai ‘hiperlokal’. Media hiperlokal dicirikan oleh fokusnya yang sempit pada wilayah geografis lokal dan partisipasi warga atau komunitas dalam produksi konten (Barnes, 2020).

Keberadaan TIK yang kemudian diikuti dengan lahirnya teknologi internet dan juga masuknya masyarakat pada era digital menciptakan perubahan. Sebagaimana yang dicatat oleh (Carpentier & Scifo, 2010), media komunitas merupakan ruang bagi sekelompok masyarakat yang turut menjadi pusat keahlian dan inovasi sosial. Perubahan sosial yang dirasakan oleh masyarakat diantaranya adalah terbangunnya infrastruktur yang jauh lebih memadai dibandingkan sebelumnya. Keberadaan TIK memberikan dorongan yang lebih kuat dalam menciptakan masyarakat yang mandiri. Peran TIK semakin terasa ditandai dengan kemajuan dalam berbagai bidang serta berdampak pada gaya hidup masyarakat (Allam, 2020). Jika sebelumnya masyarakat masih tidak mendapatkan akses yang lebih dalam mendapatkan hak yang sama untuk mendapatkan informasi dan hiburan, saat ini masyarakat dihadapkan mendapatkan hak yang sama dengan masyarakat perkotaan.

Kemajuan TIK yang membawa perubahan terhadap kebiasaan masyarakat juga dirasakan ketika dihadapkan pada kebiasaan produksi dan konsumsi media. Era perkembangan TIK yang begitu cepat juga menciptakan digital devide atau kesenjangan penggunaan teknologi. Tidak hanya permasalahan produksi pesan, konsumsi pun juga mengalami hal yang sama. Masyarakat yang memiliki tingkat edukasi baik, tidak memiliki permasalahan dalam penggunaan TIK. Masyarakat yang memang lahir di era ketika TIK berkembang, mungkin lebih cepat menanggapi perubahan teknologi. Namun, menjadi berbeda ketika pengguna teknologi adalah masyarakat yang memang lahir jauh sebelum TIK berkembang.

Berkaitan dengan kesempatan untuk berekspresi melalui media arus utama, masyarakat di daerah pinggiran memiliki tingkat aksesbilitas yang lebih rendah dibandingkan masyarakat kota. Misalnya dalam masyarakat yang berusaha mempertahankan kebudayaan lokal. Ketika sekelompok masyarakat pegiat seni dan budaya (atau komunitas budaya) berusaha untuk mendapatkan tempat di media arus utama, seperti televisi dan radio yang biasanya lebih berkembang di perkotaan, alih-alih mendapatkan tempat, namun yang terjadi adalah praktik peminggiran. Pada posisi pengembang produksi pesan dalam televisi dan radio, atau sebut saja media arus utama, bisa jadi tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena para produsen ataupun pekerja juga memiliki patokan kerja khusus dan nyata yaitu fokus kepada kebijakan dan peraturan dari penguasa media. Sedangkan, tidak dapat terelakkan penguasa media juga bergerak mempertahankan media tidak lain demi keuntungan dan benefit untuk lebih mengembangkan perusahaan.

Dalam penelitian berkaitan media hiperlokal Barnes (2020) beargumen bahwa sangat sedikit pekerjaan penelitian yang fokus pada dinamika pengembangan komunitas, termasuk peran partisipasi. Penelitian ini mengkaji bagaimana aktivitas komunitas budaya mampu mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal. Media arus utama yang memiliki pola pikir yang sepenuhnya lebih berpihak kepada keuntungan perusahaan, tentu sangat selektif bagian konten yang cenderung memberikan peluang keuntungan. Hal ini, membuat kesempatan berekspresi bagi sekelompok masyarakat yang berada dalam komunitas budaya semakin terbatas.

Teknologi media merupakan bagian dari TIK. Dua konsep teknologi yang memiliki kaitan erat dalam bentuk sebuah pengembangan kehidupan masyarakat. Teknologi media berbeda dengan konsep teknologi informasi, teknologi media menekankan kepada alat-alat komunikasi yang mampu memberikan kontribusi kehidupan masyarakat. Teknologi media menjadi semakin tertanam dalam kehidupan sehari-hari serta menciptakan lanskap teknologi yang terus-menerus berkaitan perubahan kecepatan, volume, variasi, intensitas, dan askesibilitas (Rushing & Stephens, 2011). Penelitian saat ini tampaknya menunjukkan ada keraguan atau belum ada kesepakatan tentang sifat dan definisi ‘teknologi media’. Beberapa menyebutkan istilah tersebut memiliki konsep yang terlalu besar atau rumit untuk dimasukkan dalam satu definisi kalimat. Sebagian menyebutnya dengan ‘media baru’ atau ‘digital’.Teknologi media disebut sebagai teknologi dan metode yang mendukung komunikasi manusia untuk melewati jarak ruang dan waktu. Teknologi media juga didefinisikan sebagai teknologi yang menyebarkan, menyimpan atau memproduksi konten media. Seperti yang dicatat oleh Croteau & Hoynes (2018) menyoroti fitur khas dari setiap fitur baru teknologi media yang memungkinkan perubahan sosial yang signifikan. Secara keseluruhan, studi ini mendukung gagasan bahwa kekuatan sosial melalui inovasi teknologi memungkinkan terjadinya transformasi signifikan dalam industri media.

Everret Rogers (2003) memperkenalkan teori difusi inovasi sebagai bagian dari paradigma komunikasi modernisasi. Servaes (Servaes, 1995) berpendapat bahwa proses difusi adalah ketika orang beralih dari cara hidup konvensional ke cara hidup baru yang lebih berevolusi secara teknis yang berkembang lebih cepat. Model tersebut melihat perkembangan merupakan bentuk perubahan sosial melalui gagasan-gagasan. Rogers (2003) mendefinisikan lima tahapan proses difusi yaitu kesadaran, minat, evaluasi, percobaaan dan adopsi atau penolakan. Pada tahapan pertama yaitu kesadaran, sistem yang konvensional dihadapkan pada ide-ide atau teknologi baru. Bagi orang lain untuk mengikutinya, pengadopsi awal menetapkan preseden, mendorong kemajuan untuk mengalir ke seluruh masyarakat. Backhaus (Backhaus, 2019) menunjukkan sintesis dari paradigma yang agak kontras dalam media komunitas. Media komunitas disajikan sebagai media partisipatif yang demokratif, namun beroperasi lebih selaras dengan paradigma modernisasi/difusi. Lebih lanjut, Backhaus berargumen bahwa upaya berbagi informasi teknis dan inovasi dalam komunitas lokal dapat berkontribusi pada pengembangan peran media komunitas dalam inisiatif pembangunan dan perubahan sosial.

Semujju (2014) menyarankan perubahan paradigma dalam pengembangan media komunitas berbasis pemberdayaan masyarakat dengan mengadopsi media yang lebih ramah partisipasi. Teknologi baru dianggap dapat menciptakan peluang baru untuk konektivitas sosial dan penciptaan identitas budaya (Goode, 2010). Salah satu contoh dari studi ini diungkap oleh Howley (2005), media komunitas bereksperimen dengan teknologi media baru seperti internete untuk mendukung kegiatan acara budaya lokal guna diperkenalkan ke khalayak yang lebih luas. Namun, dalam studi lanjutan Semujju (2014) juga menunjukkan bahwa terlalu ambisius jika setiap lokasi komunitas masyarakat harus menggunakan internet atas dasar penggunaannya yang dianggap berhasil di bagian dunia lain. Salah satu temuan yang menarik dilaporkan Baker (2015) yaitu adanya upaya sekelompok sukarelawan pelestari budaya yang memanfaatkan media online dan menggunakan praktik ‘do-it- yourself’ dalam mengumpulkan arsip-arsip budaya. Praktik yang dimaksud ‘do-it-yourself’ adalah memberikan kesempatan kepada sukarelawan untuk mengumpulkan dokumen atau arsip dalam membuat artefak budaya. Studi-studi tersebut menghasilkan beberapa wawasan penting terkait inovasi dan kreativitas sekelompok masyarakat yang dapat disebut dari pengembangan gagasan kewirausahaan budaya.

Sebuah studi oleh Ritzer & Degli Espositi (2020) meneliti tren perubahan mutakhir pada masa era digital yang ditunjukkan dengan berkembang pesatnya lingkungan hibridisasi perangkat dan teknologi. Gagasan yang diajukan muncul dalam studi tersebut adalah konsep ketertinggalan budaya dan teori kehancuran kreatif. Munculnya ketertinggalan budaya terjadi ketika satu unsur kebudayaan berkembang lebih cepat dari unsur kebudayaan yang lain. Dalam konteks teknologi, teknologi baru dapat dapat ditemukan atau mati bahkan sebelum mereka memiliki kesempatan untuk berhasil. Namun, kematian teknologi baru, menurut prinsip teori kehancuran kreatif akan menciptakan kemungkinan untuk pengembangan teknologi yang lebih baru dan lebih baik.

Sejumlah penelitian menyebutkan seniman-seniman yang berlatar belakang komunitas budaya mulai memanfaatkan teknologi sebagai media komunikasi untuk menampilkan karya cipta seninya. Warto (2012) dalam studinya, menunjukkan digitalisasi gamelan sebagai salah satu solusi bagi musik Jawa untuk mengatasi kesulitan dalam berkembang setelah invasi teknologi. Dalam penelitiannya berkaitan dengan upaya mempertahankan makna simbol budaya lokal, Prasanti dan Sjafirah (2017) menggambarkan komunitas budaya “Tanah Aksara” yang memilih menggunakan media komunikasi berupa media sosial, meliputi Facebook Fan Page, Twitter dan Instagram. Demikian pula yang ditemukan Cohen (Cohen, 2019), ketika kesenian Wayang Kulit yang dianggap berada di bawah ancaman semakin ditinggalkan oleh generasi muda, sejumlah seniman Wayang Kulit dalam komunitas “Posko Dalang Nusantara” berupaya menjaga eksistensi dengan memanfaatkan Facebook Page dan YouTube sebagai media alternatif untuk menyuarakan tujuan ketahanan budaya mereka. Hal serupa juga ditunjukkan oleh Emerson (2016) dalam observasinya menunjukan seniman Wayang Kulit di Surakarta mulai menggunakan YouTube sebagai sarana live streaming untuk menampilkan cerita-cerita wayang yang kaya dengan makna budaya lokal. Pada saat media arus-utama dianggap tidak memberikan ruang yang lebih luas bagi seniman lokal, komunitas budaya kemudian memilih untuk mengembangkan media yang dikelola secara mandiri dan memanfaatkan teknologi internet. Peneliti berargumen bahwa media komunitas yang secara kreatif mengelola dan optimal dalam menggunakan teknologi akan semakin berpeluang untuk meraih khalayak yang lebih luas secara geografis.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, komunitas dibentuk ketika anggota komunitas secara kolektif meningkatkan dan memberdayakan diri dalam hal kepribadian dan nilai sosial. Indikator komunitas yang berhasil dikembangkan dapat diperhatikan melalui jejak yang telah ditinggalkan oleh komunitas, seperti warisan yang dibangun. Bali Buja merupakan sebuah perwujudan pusat komunitas atau pusat kegiatan masyarakat dimana anggota komunitas Bali Buja berkumpul untuk kegiatan pelestarian budaya lokal.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana aktor sosial penggerak seni dan budaya menggunakan strategi teknologi media untuk pengembangan media komunitas budaya. Dalam bagian selanjutnya, peneliti akan memaparkan metodologi dari penelitian.