6.2       Rekomendasi

Penelitian ini membuka jalan dalam kajian media komunitas dan media hiperlokal dalam beberapa cara. Sebagai pengantar dalam rekomendasi, berikut pertanyaan utama peneliti: bagaimana komunitas budaya mempertahankan kebudayaan lokal melalui pengembangan media komunitas berbasis teknologi media, khususnya untuk memfasilitasi praktik kesenian dari komunitas budaya. Dengan mengacu pada pertanyaan utama tersebut, komunitas budaya dimungkinkan untuk berpartisipasi. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, apakah anggota komunitas budaya menerima gagasan inovasi teknologi media, dan bagaimana mereka memilih platform yang diasumsikan mendapatkan umpan balik dari anggota ataupun khalayak di luar anggota Bali Buja.

Kerja penelitian ini berkontribusi pada pengembangan media komunitas untuk komunitas budaya di era digital. Peneliti berharap kajian media hiperlokal dapat berkembang. Saran ini juga peneliti harap tidak berhenti pada sebuah bidang kajian, melainkan diperlukan relawan media hiperlokal yang kemudian membantu kelompok masyarakat yang merasa terpinggirkan menjadi berani bersuara menuangkan gagasan dan inovasi. Seperti yang telah diungkap dalam kesimpulan, penelitian ini kemudian menemukan bahwa ruang publik yang dibentuk melalui media baru adalah jalur inovasi media komunitas. Namun demikian, jalur tersebut tidak kemudian membuat upaya komunitas menjadi lebih mudah. Kemudahan yang didapatkan juga melahirkan beberapa kendala dan kesulitan. Salah satunya adalah keterbatasan jumlah sumber daya manusia yang menguasai peralatan untuk kebutuhan teknologi media. Peneliti menemukan bahwa tanpa motivasi, atau tanpa individu aktivis yang menjadi relawan donatur dalam komunitas, tanpa peran aktor sosial, ruang seperti media hiperlokal tidak langsung menjadi “jalan baru” bagi komunitas yang mengalami keterbatasan dalam mengembangkan media komunitas.

Perjalanan peneliti untuk mendapatkan jawaban ataupun temuan dilakukan melalui metode etnografi. Motivasi untuk mendapatkan temuan mendalam dari komunitas adalah salah satu alasan peneliti memilih etnografi. Rekomendasi yang dapat disampaikan peneliti dalam bagian ini yaitu pengembangan pendekatan penelitian tindakan etnografi. Metode tersebut perlu lebih banyak diterapkan, khususnya dalam bidang pembangunan komunitas. Ketika peneliti turun ke lapangan, kemudian melakukan diskusi dengan komunitas budaya dan pengelola media komunitas, peneliti mendapatkan pengalaman berharga dan menjadi sangat tertanam. Peneliti melihat perjuangan komunitas budaya dalam melestarikan seni dan budaya tradisi mereka. Dari latar belakang tersebut, peneliti kemudian memilih untuk tidak hanya berhenti dalam membuahkan hasil kajian tertulis. Peneliti merasa perlu memberikan kontribusi yang lebih kepada komunitas budaya. Tidak hanya melalui publikasi penelitian, melainkan peneliti juga dengan pengalaman dan kemampuan yang dimiliki ingin turut memberikan masukan, hingga pendampingan kepada pengelola media komunitas. Sebuah proyek media komunitas yang operasionalisasinya lebih mirip dengan penelitian berbasis praktik diperlukan lebih banyak untuk keperluan pengembangan media komunitas berbasis teknologi media.

Saat peneliti melakukan studi literatur media komunitas, peneliti mengalami kesulitan menemukan literatur dengan kata kunci ‘media komunitas’. Pada satu sisi, peneliti menemukan bahwa hal ini menjadi celah bagi kajian media komunitas, khususnya jika dikaitkan dengan media komunitas dengan pengembangan multi-platform. Asumsi peneliti terhadap semakin berkurangnya literatur atau hasil penelitian tentang media komunitas (khususnya selama sepuluh tahun terakhir) dikarenakan tidak ada perkembangan yang signifikan bagi media komunitas dengan teknologi analog atau konvensional. Asumsi lain dari peneliti yaitu bertahannya permasalahan yang terjadi atau dialami oleh para pengelola media komunitas berbasis teknologi analog. Sehingga, hal ini merupakan sebuah sinyal bahwa ada pergeseran bentuk dan pola media komunitas. Perkembangan teknologi media seperti radio streaming, televisi internet, televisi digital, platform music on demand turut menjadi alasan berubahnya konsumsi khalayak ketika membutuhkan hiburan atau informasi. Rekomendasi yang dapat dipahami melalui fenomena ini yaitu kajian terhadap media komunitas di era digital masih terus dapat berkembang. ‘Media komunitas’ sebagai konsep media untuk sekelompok masyarakat, tidak lagi dibatasi oleh geografis atau aturan kewajiban menggunakan teknologi tertentu. Namun, media komunitas kemudian dapat dipahami sebagai kanal, atau sebagai agregator, atau dapat juga menjadi mediator bagi sekelompok masyarakat yang memiliki kesamaan minat dan tujuan. Seperti yang telah diungkapkan peneliti pada bagian sebelumnya, bahwa arah komunitas kemudian tidak lagi hanya menjadi sebuah forum diskusi atau ‘paguyuban’, namun perlu dipertimbangkan menjadi aksi genossenschaft atau kooperatif yang melibatkan banyak peran dan relawan dari berbagai layanan sosial.

Implikasi dari penelitian ini meletakkan fondasi bahwa media hiperlokal tidak sekadar diasumsikan sebagai sebuah media yang mengisi kekosongan media arus-utama dalam memberikan ruang bagi komunitas lokal. Media hiperlokal tidak hanya sekadar disebut sebagai media alternatif, tetapi menjadi platform bagi masyarakat. Dalam bab lima, peneliti juga mendorong gagasan anggota komunitas untuk mengembangkan media yang telah dikelola. Media komunitas tidak lagi disebut sebagai ‘produk’ media massa namun dapat menjadi sebuah platform yang memfasilitasi beragam partisipasi dan kebutuhan anggota komunitas. Gagasan media hiperlokal dapat menjadi pertimbangan untuk diterapkan pada komunitas budaya di daerah lain. Inovasi teknologi media dalam media hiperlokal dapat dimanfaatkan oleh komunitas budaya melalui optimalisasi media sosial. Integrasi teknologi konvensional seperti penggunaan alat-alat yang sebelumnya merupakan infrastruktur media analog, kemudian dikembangkan untuk dapat didistribusikan melalui teknologi internet. Kebutuhan kecakapan digital diperlukan bagi SDM komunitas khususnya bagi anggota yang mengelola media komunitas. Misalnya, dari setiap platform media sosial yang berkembang, perlu dipelajari dan disesuaikan terlebih dahulu, aplikasi apa yang memang sesuai dengan kebutuhan komunitas. Pada penelitian ini, media sosial yang digunakan adalah Facebook, aplikasi video berbagi YouTube dan aplikasi pesan lintas platform WhatsApp. Penggunaan Facebook dan YouTube digunakan sebagai media penyalur konten hasil streaming. Sedangkan WhatsApp merupakan alat pendukung bagi komunitas untuk menerima pesan singkat dari anggota komunitas.

Penelitian ini menunjukkan bahwa media hiperlokal sebagai sebuah konsep yang berkembang di Eropa (khususnya Inggris) merupakan bentuk pengembangan media komunitas yang berbasiskan teknologi internet. Media hiperlokal tidak hanya menjadi model mdeia baru bagi media komunitas ataupun media lokal yang fokus pada konten jurnalistik. Rekomendasi akademis yang dapat disampaikan untuk penelitian berikutnya adalah pertama, bahwa terkait media hiperlokal yang diterapkan pada masyarakat penggerak seni dan budaya tradisional.. Namun, media hiperlokal dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan komunitas ataupun organisasi pengelolanya. Kajian selanjutnya direkomendasikan untuk melihat aspek teknologi ataupun alternatif platform yang lebih signifikan digunakan pada media komunitas. Kedua, berkaitan dengan nilai-nilai yang tersirat di dalam setiap aksi anggota komunitas budaya. Peneliti merekomendasikan bahwa setiap langkah yang diterapkan oleh anggota komunitas mulai dari aktor sosial utama hingga pelaku komunitas pada level tataran paling bawah membawa nilai falsafah kehidupan yang dipegang dan diyakini secara mendalam. Hal ini dapat dikaji untuk mendapatkan pengalaman esensial dari setiap individu ketika memunculkan motivasi untuk berkontribusi dalam komunitas.

Pilihan platform dapat disesuaikan dengan kebutuhan komunitas dan nilai lokal setempat. Media komunitas berbasis teknologi media selayaknya didukung sebagai media alternatif ketika media konvensional telah mulai perlahan ditinggalkan oleh masyarakat. Perubahan teknologi dan perubahan perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi media digital menjadi alasan utama mengapa media komunitas berbasis teknologi media perlu dikembangkan.

Rekomendasi berikutnya, peneliti berasumsi bahwa komunitas lokal terpinggirkan dapat peka atas perubahan teknologi. Melalui kemampuan beradaptasi dan menciptakan inovasi, komunitas akan melahirkan gagasan dan ide untuk mewujudkan misinya. Sama halnya dengan komunitas budaya, peluang untuk memperjuangkan identitas melalui pelestarian budaya lokal dapat diimplementasikan dengan kemampuan berpikir kreatif. Ketika generasi penerus yang lebih banyak menyerap konten budaya asing, kemudian perlu diingatkan mengenai nilai-nilai budaya lokal yang menjadi akar dari identitas kelompok. Penggunaan platform dan teknologi yang lebih mudah digunakan mereka, tentu menjadi peluang untuk terus memperkenalkan nilai kearifan lokal. Jika dalam penelitian ini, komunitas budaya lebih condong menggunakan Facebook dan Youtube, peneliti menyarankan untuk pengembangan penggunaan platform dan ataupun fitur yang lebih dikenal generasi masa kini. Hiperlokalitas yang menjadi karakteristik khas media hiperlokal dapat ditemukan melalui fitur yang terdapat dalam TikTok atau Instagram.

Kerjasama antara generasi di dalam sebuah komunitas juga menjadi rekomendasi praktis dalam penelitian ini. Generasi yang merupakan digital immigrant atau individu yang lahir pada masa belum marak berkembang digitalisasi perlu untuk bersinergi dengan generasi muda yang masuk ke dalam kategori digital native atau individu yang memang telah lahir pada masa berkembangnya teknologi dan internet. Hasil olahan alih wahana yang dikembangkan oleh digital native tentu memudahkan pengembangan potensi komunitas budaya.

Meskipun penelitian ini tidak mengurai bagaimana relasi antara media komunitas dengan pihak regulator, namun peneliti perlu memberikan rekomendasi bahwa pengelola komunitas mendapatkan tetap mendapatkan perlindungan ataupun dukungan dari pemerintah. Kebutuhan ini terungkap dari hasil diskusi antara peneliti dengan informan pengelola radio komunitas. Regulasi masih sering menjadi kendala bagi media komunitas lokal. Adapula kekhawatiran beberapa pihak yang masih memandang media komunitas merupakan media ‘liar’ atau ‘radikal’. Interaksi yang intensif dan konsisten antara pemerintah dan pelaku media komunitas perlu semakin direalisasikan. Dengan dilandasi semangat keterbukaan, pemerintah yang menjadi pengendali atas regulasi perlu memberikan ruang publik dan sarana komunikasi bagi komunitas-komunitas yang terpinggirkan. Dalam konteks penelitian ini, perlu komitmen bersama atau kooperatif dalam menjaga pelestarian seni dan budaya tradisional. Melalui penelitian ini, ruang publik yang hadir melalui teknologi digital adalah potensi bagi komunitas untuk lebih mudah berekspresi. Sebagaimana yang diungkap sejak awal oleh peneliti, bahwa hal ini sejalan dengan konsep berkehidupan orang Jawa (dalam konteks penelitian ini adalah Jawa Tengah) yaitu memayu hayuning bawana, yang berarti: bersama-sama mempercantik keindahan dunia. Konsep tersebut pada dasarnya menjadi landasan bagi komunitas masyarakat sebagai bagian dari warga dunia untuk terus menjaga keharmonisan dunia.