1.1       Latar Belakang

Penelitian ini berargumen bahwa keterbatasan akses pada media arus utama berakibat pada peminggiran komunitas penggerak seni dan budaya area pinggiran. Akademisi menyatakan dampak paling signifikan dari situasi ini adalah terancamnya keberlangsungan sebuah budaya (Sujoko, 2011) karena komunitas seni dan budaya area pinggiran pada akhirnya kehilangan ‘suara’ untuk berekspresi dan menyampaikan apresiasi seni (Birowo, 2010; Bogaerts, 2017; Mubah, 2011; Samry, 2017; Shahzalal & Hassan, 2019; Sujoko, 2011). Penelitian ini akan mengeksplorasi bagaimana media komunitas menghadapi media arus utama yang menolak kemasan lokal guna melakukan usaha-usaha komodifikasi budaya. Penolakan media arus utama terhadap kemasan lokal dapat diindikasikan melalui bagaimana media arus utama tidak memberikan ruang lebih luas untuk komunitas penggerak seni budaya dapat menampilkan pertunjukan budaya tradisional yang memiliki kekhasan lokalitas (Forde et al., 2009; Haryanto & Ramdojo, 2009; Howley, 2005; Jurriëns, 2019; Meadows et al., 2009). Bogaerts (2017) menyatakan bahwa penolakan tersebut merupakan sebuah praktik marjinalisasi konten lokal bagi media arus utama, hal tersebut ditunjukkan dengan minimnya ruang untuk konten lokal seperti pertunjukan seni dan budaya tradisional Jawa yang dianggap fenomena marjinal.

Bab ini akan memberikan gambaran umum mengenai studi tentang media komunitas pada komunitas pegiat seni dan budaya (selanjutnya akan disebut sebagai komunitas budaya) di era digital. Sarjana menyatakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi (selanjutnya akan disebut TIK) berpotensi mendorong industri kesenian tradisional (Buchtmann, 2000). Secara spesifik, Megwa (2007) menyatakan TIK memiliki karakter dalam memberdayakan mereka yang terpinggirkan (Gelsomino, 2010; Lievrouw, 2011). Studi ini berargumen bahwa komunitas budaya yang aktivitas terletak jatuh dari industri kesenian arus utama dapat memanfaatkan TIK untuk pelestarian budaya lokal, terutama melalui konten ekspresi kesenian.

Parekh (2006) mendefinisikan komunitas budaya sebagai bagian dari kumpulan orang yang bersatu atas dasar ikatan budaya yang sama. Lebih lanjut, Parekh menjelaskan bahwa komunitas budaya memiliki kewajiban terhadap umat manusia dan generasi mendatang untuk melestarikan dan meneruskan nilai universal yang terdapat dalam suatu budaya. Bauböck (2001) mengidentifikasi bahwa terbentuknya komunitas budaya dilandasi dengan asosiasi sukarela dalam mengejar minat tertentu serta menjaga kerukunan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (2016) mendefinisikan komunitas budaya sebagai suatu kesatuan sosial yang berupaya menggunakan tradisi, identitas sosial, serta kesadaran wilayah sebagai kesatuan daerah teritorial untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas sosial. Komunitas budaya merupakan wujud kesatuan masyarakat yang memiliki potensi mempertahankan tradisi dan berperan penting dalam kebudayaan (Antara, 2019). Komunitas budaya menurut Rogoff (2003) didefinisikan lebih luas sebagai sekelompok orang yang terkoordinasi atas dasar tradisi dan pemahaman yang sama selama beberapa generasi di mana setiap anggota komunitas berperan untuk partisipasi dan berkontribusi. Bagi Bauer (2000) komunitas budaya terbentuk ketika anggotanya memang benar-benar menginginkan adanya perkumpulan. Bauer juga menunjukkan bahwa keberadaan komunitas tidak terbatas pada bahasa, elemen sosiologis seperti institusi ataupun etnis. Beberapa konsep komunitas budaya tersebut menjadi pertimbangan bagi peneliti dalam menelaah partisipasi masyarakat dalam suatu komunitas budaya untuk tujuan menjaga tradisi budaya lokal. Berdasarkan kesarjanaan terkait komunitas budaya di atas, penelitian ini akan mendefinisikan komunitas budaya sebagai sekelompok masyarakat yang berpartisipasi secara sukarela dalam upaya menjaga ketahanan budaya.

Komunitas budaya dalam posisinya sebagai aktivis budaya berperan menjadi pendorong spirit nasionalisme (Adria, 2010; Arifianto, 2013) melalui pertunjukan seni. Seni memiliki kapasitas sebagai bentuk refleksi dan eksplorasi dari satu keinginan individu atau kelompok (Cohen-Cruz, 2002). Ciri khas dari penciptaan karya seni adalah dorongan hidup manusia untuk berbagi makna kebaikan dan pesan moral (Aesijah, 2020). Dalam setiap ekspresi kesenian terkandung kearifan lokal berupa makna serta nilai kehidupan (Susetya, 2019). Kearifan lokal yang dimaksud misalnya berupa pesan keluhuran budi dengan makna sebagai pengingat atas kehidupan. Jika ditinjau dari sosiologi sastra (Damono, 1978) hal tersebut dilandasi oleh pencipta seni yang memang ingin menyampaikan makna kepada masyarakat agar lebih mudah diterima dan selanjutnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Hardjiana & Widiantoro, 2020). Itu sebabnya, penelitian ini berpendapat komunitas budaya memiliki peran penting sebagai penggerak masyarakat dalam melestarikan nilai-nilai luhur yang tersemat dalam konten pertunjukan seni dan budaya.

Seni dan budaya lokal tersebut berkembang turun temurun antar generasi sebagai simbol atau identitas umat manusia (Susetya, 2007). Wayang kulit, wayang orang, tembang (termasuk lagu, nyanyian dan puisi) gamelan atau karawitan merupakan ekspresi seni yang memperkuat dan mencerminkan nilai-nilai tradisional budaya lokal (Becker, 2019). Karawitan juga diketahui sebagai simbol musik religi bagi masyarakat Jawa Tengah (Surakarta) dan Yogyakarta (Perlman, 2004; Sutton & Sutton, 1991). Karawitan memiliki ciri khas dan menjadi identitas budaya lokal (Sugimin, 2018; Supardi, 2013) yang tidak hanya memberikan makna terkait kehidupan di dunia, melainkan juga menunjukkan hubungan spiritual manusia (Hanan to, 2020; Nanik et al., 2013; Qonita et al., 2020; Wibowo et al., 2018). Baik pendengar ataupun yang memainkan gamelan merupakan aktivitas spiritual yang tidak sekadar hiburan, namun dimanfaatkan sebagai media untuk melatih kedisiplinan dan kontrol atas perasaan sebagai manusia (Geertz, 1976). Ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki peran sebagai media ekspresi diri dan interaksi sosial.

Selain melalui seni musik, karya penciptaan seni yang lain yaitu seni tari dan seni pertunjukan seperti pagelaran wayang juga memiliki makna dan nilai luhur sebagai identitas bagi masyarakat Jawa (Sulaksono & Saddhono, 2018; Wardani et al., 2016). Menurut Walton (2007) gamelan atau karawitan merupakan cerminan dan bentuk manifestasi atas sistem sentral pemikiran, pengalaman serta kepercayaan dalam budaya lokal. Wayang kulit merupakan karya penciptaan seni yang sudah lama menjadi hiburan bagi masyarakat Jawa, dikonsumsi tidak hanya sekadar sebagai hiburan melainkan menjadi media penyebaran nilai- nilai identitas kepada masyarakat (Lim, 2017) sebagai media pembentukan karakter masyarakat (Pradita et al., 2017), media dakwah (Anggoro, 2018; Marsaid, 2016) bahkan digunakan sebagai media permainan kekuasaan (Basuki, 2006). Dengan kata lain, komunitas budaya memiliki peran dalam membawa serta melestarikan makna dan nilai luhur sebagai identifikasi pemikiran, pengalaman, serta kepercayaan anggota kebudayaan.

Penelitian ini berargumen bahwa komunitas budaya berperan dalam mempertahankan keberadaan kebudayaan lokal. Komunitas mengembangkan kelompok masyarakat (Mattern & Love, 2013) agar mampu secara bersama-sama mempertahankan kearifan lokal (Dahliani, 2015) melalui ekspresi kesenian. Peneliti beranggapan komunitas berupaya menjaga kearifan lokal melalui penciptaan karya seni sebagai bagian dari produk budaya. Upaya komunitas melalui produk budaya menjadi sebuah kajian penting karena hal

produk kultural dapat dilihat sebagai sebuah diskursus yang melibatkan kearifan lokal – sebagai salah satu faktor signifikan dari identitas lokal (Mungmachon, 2012).

Sarjana menegaskan bahwa kearifan lokal sebagai bagian dari budaya memiliki kemampuan sebagai penjaga karakter jati diri bangsa, hal tersebut merupakan upaya untuk bertahan dari budaya luar, mulai dari akomodasi, integrasi hingga mengendalikan (Daniah, 2016; Fajarini, 2014; Kongprasertamorn, 2007; Lestari, 2000; Sartini, 2004; Triyanto, 2017). Kearifan lokal terkandung dalam sebuah tradisi atau peristiwa, dapat juga berupa kebiasaan atau gaya hidup (Diamond, 2013; Ife et al., 2016; Lozano & Escrich, 2017; Swidler, 1986). Kearifan lokal seperti kebudiluhuran membawa pesan etika dan moral (Endraswara, 2012a; Kartika, 2016) yang memiliki ciri khas budaya lokal. Kekhasan tersebut berperan dalam mengembangkan kehidupan berbudaya (Lestari, 2000; Vitasurya, 2016). Kajian ini menjadi penting karena berkaitan kekhasan budaya lokal sebagai warisan antar generasi (Owiny et al., 2014; Supriatna, 2018; Suyatno, 2015). Komunitas yang identik dengan kebersamaan dalam bentuk partisipasi masyarakat (Birowo, 2010; Hollander et al., 2008) perlu mencari solusi agar dapat menciptakan ketahanan budaya. Tradisi dan budaya lokal merupakan sumber identitas yang penting bagi suatu bangsa. Budaya lokal dilindungi dan dipertahankan untuk tetap menjadi panduan generasi muda suatu bangsa. Sebagai identitas untuk suatu daerah, budaya lokal dilestarikan agar generasi selanjutnya dapat tetap menikmati sebuah tradisi yang telah diciptakan dan dikembangkan oleh generasi sebelumnya.

Studi-studi terdahulu memperlihatkan bagaimana teknologi media memiliki peranan penting dalam membangun ketahanan budaya, terutama pada komunitas-komunitas yang marjinal. Komunitas menggunakan beragam media sebagai upaya kreatif yang tidak terbatas dengan menggunakan media cetak, radio ataupun televisi (Fuller, 2018; N. W. Jankowski, 2002). Komunitas juga menggunakan media komunitas seperti radio komunitas (Forde et al., 2002). Sarjana menyatakan karakteristik media komunitas berbasis akar rumput adalah pada pengelolaannya yang bergantung pada partisipasi masyarakat dalam komunitas itu sendiri serta dimanfaatkan untuk kebutuhan bersama tanpa bermaksud mencari keuntungan (Birowo, 2010; Birowo et al., 2015; Jurriëns, 2014; Masduki, 2005). Sarjana menyebut media komunitas dengan istilah media alternatif (Atton, 2002; Coyer et al., 2007; J. D. H. Downing, 2000). Media alternatif disebut sebagai media penyeimbang sekaligus kekuatan untuk menyuarakan ideologi untuk minoritas dan kelompok marjinal (Atton, 2002; Bailey et al., 2007; A. K. Bello & Wilkinson, 2017). Literatur akademik telah mengungkapkan

munculnya media komunitas yang nampak sporadis dan mendesak sebagai bentuk respon gerakan protes terhadap media arus utama (Dunaway, 2014; Howley, 2009; Jurriëns, 2003, 2009; Tabing, 2000). Media komunitas memiliki kemampuan untuk melahirkan konten yang sesuai dengan kondisi serta karakteristik masyarakat lokal (Waltz, 2006).

Perkembangan media informasi dan komunikasi melalui pemanfaatan TIK turut memengaruhi pertumbuhan media komunitas (Dreher, 2017; Jauert, 2015). Kemajuan TIK telah menyebabkan munculnya ‘media baru’. ‘Media baru’ yaitu perubahan media dari beberapa aspek, seperti aspek medium, aktor, dan konten (N. W. Jankowski, 2006; Rennie, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan komunitas memanfaatkan internet untuk mengembangkan media (Birowo et al., 2016; Guo, 2017). Begitu pula para pemillik media arus utama yang selama ini menggunakan media konvensional (Howley, 2013) kemudian juga masuk ke dalam penggunaan platform digital (Tapsell, 2018). Sekarang dapat dipahami bahwa internet berperan penting dalam pengembangan media komunitas. Ini artinya, peluang komunitas budaya untuk melahirkan produk budaya semakin luas dengan menggunakan media baru. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Jenkins dan Bertozzi (2007) bahwa pemanfaatan media baru atau digital akan memperluas partisipasi masyarakat khususnya kelompok usia muda dalam mewujudkan ekspresi kesenian. Karena itu peneliti akan melihat kemampuan komunitas dalam beradaptasi secara kreatif memanfaatkan platform dalam teknologi internet. Media komunitas merupakan organisasi di luar pemerintah yang mengandalkan partisipasi masyarakat serta beroperasi dengan basis nirlaba (AMARC, 2020; Howley, 2013). Ketersediaan teknologi yang relatif murah, terintegrasi dengan potensi jaringan internet dan platform media sosial menyediakan saluran media bagi kelompok masyarakat untuk berbagi konten.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi inovasi pelestarian budaya lokal oleh komunitas budaya. Secara umum, TIK diyakini dapat memperluas akses publik serta peluang bagi komunitas budaya dalam berbagi ekspresi kesenian. Pegiat seni memanfaatkan platform internet untuk menyebarkan karya seni (Love & Mattern, 2013). Jaringan komunikasi global berkembang begitu cepat, hal ini ditunjukkan dengan berkembangnya platform berbasis TIK (Preston & Kerr, 2001). Teknologi internet mengaburkan batas antara komunitas lokal dan global serta budaya tradisional dan modern, selain itu internet juga menciptakan perbatasan baru (Love & Mattern, 2013). Budaya populer meningkat beriringan dengan perkembangan TIK. Beragam ekspresi seni dan budaya populer masuk ke berbagai wilayah. Globalisasi mewujudkan kesan homogenisasi (Boli & Lechner, 2015). Lebih lanjut Love dan Mattern (2013) menjelaskan potensi budaya populer yang menekan keberadaan budaya lokal. Namun, pegiat seni dan budaya juga memanfaatkan internet sebagai alat untuk menantang budaya populer (Lievrouw, 2011). Internet disadari sebagai sebuah alat strategi untuk mengatasi berbagai tantangan (Senejko et al., 2015). Sejalan dengan pendapat tersebut, Aelst et al., (2002) mengungkapkan bahwa internet sebagai bagian dari produk media baru berperan penting dalam pergerakan era TIK. Argumen yang dapat ditunjukkan melalui hal di atas adalah pada satu sisi modernisasi dengan globalisasi mengancam budaya lokal. Namun demikian, pada sisi lain, seniman sebagai bagian dari agen perubahan harus mengabaikan permasalahan dan melihat ke depan. Seniman membangun apa yang telah dimiliki untuk mempertahankan nilai budaya lokal.

Dalam penelitiannya, Beel et al. (Beel et al., 2017) menemukan bahwa ketahanan budaya menjadi penting karena budaya sebagai aset berharga masyarakat (Daskon, 2010) memiliki fungsi sebagai tolok ukur identitas suatu kelompok masyarakat atau suatu bangsa (Lalonde, 2006; Pribadi, 2018; Schwartz et al., 2010). Hal tersebut mengacu pada argumen penelitian di atas bahwa budaya populer dengan mudah memasuki ke beragam wilayah melalui TIK. Globalisasi memungkinkan suatu budaya dapat masuk tanpa mediasi antar bangsa (Lan & Manan, 2011). Ketahanan budaya merupakan komitmen terhadap nilai-nilai luhur yang berimplikasi kepada bertahannya keberadaan identitas (Ruslan, 2015).

Penelitian sebelumnya menunjukkan globalisasi cenderung memarjinalkan produksi budaya lokal (P. Jackson, 2004). Konten yang dihadirkan melalui budaya populer pun lebih menekankan kepada pola-pola modernisasi seperti universalisme, komodifikasi dan konsumerisme (Adams, 2007). Akibatnya, produksi budaya lokal lebih berpusat pada sudut pandang komersial dan meminggirkan identitas serta kearifan lokal (Ghifarie, 2013). Friedman (1990) telah menunjukkan otentikasi berkaitan identitas lokalitas menjadi rusak oleh obyektifikasi dan potensi dekontekstualisasi. Featherstone (2012) berpendapat bahwa diperlukan penegasan dari budaya lokal melalui gerakan menghidupkan kembali atau mensimulasikan tradisi lokal, atau menciptakan yang baru. TIK dianggap efektif (Shachaf, 2008) bagi komunitas budaya sebagai alat pergerakan.

Kavada (2005) menggunakan istilah ‘gerakan globalisasi alternatif’ sebagai sebuah gerakan mobilisasi yang berbasis internet. Komunitas menghadapi tantangan globalisasi ditunjang dengan menggunakan media komunikasi berbasis TIK (Pettit et al., 2009) yang sesuai dengan kebutuhan lokalitas (Lin & Song, 2006). Lebih lanjut, Lull (2020) mengungkapkan komunikasi kooperatif atau kemampuan komunikasi yang efektif dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunitas memiliki peluang untuk menjaga komunikasi kooperatif karena setiap aktivitas yang pada umumnya berlandaskan dengan partisipasi masyarakat (Bessette, 2004).

Komunitas budaya dalam menyebarluaskan ekspresi seni dan budaya memilih untuk mencari alternatif dari media arus utama karena adanya proses marjinalisasi terhadap keberadaan budaya lokal. Komunitas memilih memanfaatkan jalur media komunitas karena keterbatasan akses pada media arus utama (Lievrouw, 2011). Sebagaimana yang dinyatakan Bogaerts (2017) bahwa minimnya ruang untuk konten kebudayaan lokal merupakan fenomena marjinal. Media arus utama lebih memberikan ruang bagi konten dengan budaya baru merupakan sebagai implikasi arus globalisasi yang memasuki ranah media, persaingan media arus utama dan berkembangnya media baru (Haryati, 2013). Konten lokal dianggap oleh media arus utama tidak memiliki nilai jual dalam menarik khalayak (Rachmiatie et al., 2020).

Penelitian ini berargumen bahwa keterbatasan akses pada media arus-utama berakibat pada peminggiran komunitas budaya di area pinggiran. Beberapa bukti menunjukkan bahwa seniman yang berasal dari kota lebih memiliki peluang lebih tinggi mendapatkan perhatian di media arus utama dibandingkan seniman di area pinggiran (Verboord & Noord, 2016). Budaya populer menjadi alat untuk memenangkan persaingan bisnis bagi media arus utama. Media arus-utama seperti media televisi dan radio pun lebih banyak memberikan ruang kepada budaya populer. Alih-alih berpikir lateral dan berupaya untuk mengembangkan atau menciptakan inovasi dari kebudayaan asli agar kearifan lokal tetap bertahan. Namun, yang terjadi adalah media arus utama memilih memproduksi konten yang lebih cepat mudah diterima masyarakat.

Guna mewujudkan tujuannya, komunitas budaya berupaya memanfaatkan saluran media berupa media komunitas. Media komunitas dapat disebut juga sebagai media alternatif, sebuah saluran media yang bersifat tidak marjinal serta sentral karena menantang konsentrasi masif yang dilakukan media arus utama (Couldry, 2002). Komunitas menggunakan infrastruktur TIK sebagai pendukung inovasi produksi konten lokal (Tabing, 2016). Marmura (2008) menulis bahwa TIK khususnya internet menawarkan manfaat lebih besar bagi kepentingan marjinal. Beberapa studi sebelumnya, menunjukkan komunitas budaya memanfaatkan media komunitas dengan perangkat tradisional atau media konvensional (Budiman, 2014; Drüeke & Zobl, 2018; Komariah, 2014; Nuraeni et al., 2016; Saputro, 2020). Penggunaan media konvensional juga memiliki permasalahan regulasi. Pengelola menggunakan peralatan yang sifatnya konvensional, terbatas dan analog yaitu menggunakan spektrum frekuensi radio atau televisi. Regulasi lembaga penyiaran komunitas berbasis frekuensi mensyaratkan adanya pembatasan (Eddyono, 2012). Radio komunitas, misalnya, hanya memiliki izin siaran dengan aturan jarak pancar siar yaitu 2,5 kilometer dari lokasi pemancar (Tripambudi, 2011). Struktur regulasi memiliki peran signifikan dalam peminggiran budaya lokal. Regulasi yang tidak berpihak pada komunitas lokal menyebabkan mereka sulit berekspresi dalam ruang lokal (Bogaerts, 2017; Dwi Takariani, 2013; Dwiana & Wahyuni, 2013; Ferrer, 2019; Milan, 2009). Akibatnya, komunitas lokal kesulitan memperoleh media untuk membagikan kearifan lokal yang penting untuk mempertahankan budaya lokal (Rachmiatie et al., 2020; Samry, 2017; Tabing, 2000). Padahal, frekuensi merupakan hak publik (Budiman, 2014; Masduki, 2005; Sterling & O’Dell, 2010).

Walaupun para akademisi seperti Downing (2000) dan Bailey (2007) menyatakan bahwa perlawanan komunitas terhadap kekuasaan yang dianggap negatif, penelitian ini bertujuan untuk melihat strategi-strategi yang bersifat konstruktif dalam mempertahankan kebudayaan (Panuju, 2018). Oleh karena itu, penelitian ini menjelaskan gambaran respon dan strategi komunitas lokal dalam mengembangkan inovasi ruang berekspresi. Penelitian ini menunjukkan keberadaan komunitas budaya yang tidak mendapatkan tempat di media arus utama atau media publik karena dianggap belum layak tampil ataupun tidak layak tampil. Walaupun demikian, keberadaan sekelompok masyarakat ini terus berjuang untuk berekspresi ataupun menyuarakan pendapat untuk tujuan atas hak mereka. Misalnya dalam konteks penelitian ini, komunitas budaya mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal melalui ekspresi seni dan budaya. Komunitas lokal seperti komunitas budaya berupaya mempertahankan identitas yang otentik demi generasi penerus mereka dan eksistensi seni tradisional.

Studi ini diawali dengan ketertarikan peneliti terkait evolusi platform digital untuk media komunitas. Bagaimana teknologi media kemudian mampu memenuhi kebutuhan orang dalam memproduksi makna. Penelitian ini mengeksplorasi aksi komunitas budaya di Jawa Tengah yang secara rutin melakukan produksi konten berupa seni dan budaya tradisional. Fokus yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kepada aktivitas berkesenian mereka dan upaya memanfaatkan teknologi media. Peneliti menemukan realitas yang menjadi pilihan komunitas budaya yang tidak memilih untuk menggunakan teknologi media konvensional. Komunitas budaya tersebut juga tidak kemudian menggunakan sarana dari media arus utama.

Komunitas budaya yang menjadi tujuan eksplorasi peneliti yaitu komunitas bernama Bali Buja. Bali Buja adalah singkatan dari Paguyuban Peduli Budaya Jawa. Meskipun menggunakan kata Bali di dalam namanya, namun aktivitas komunitas ini tidak secara langsung berkaitan dengan nama daerah di Indonesia, yaitu Pulau Bali. Hasil penelusuran peneliti, istilah Bali memiliki arti dari bahasa Sansekerta. Ada literatur yang menyebutkan kata Bali memiliki arti sebagai ‘kekuatan yang maha agung’ (Arimpranata, 2021), serta ada yang menyebutkan arti Bali adalah ‘persembahan’ (Artaningrat, 2015). Bali Buja merupakan komunitas yang memiliki domisili di Klaten, Jawa Tengah. Pilihan peneliti untuk mengkaji komunitas Bali Buja diawali dari pengamatan terhadap karakteristik unik yang dibangun oleh Bali Buja. Sepanjang pengamatan penelitian sejak tahun 2018, penggunaan teknologi media berbasis internet yang dilakukan oleh seniman di sekitar Jawa Tengah ataupun Daerah Istimewa Yogyakarta (daerah yang memiliki kedekatan secara geografis dengan Klaten), masih belum begitu banyak dimanfaatkan oleh komunitas seniman. Peneliti mengamati seniman tunggal seperti Dalang (Almarhum Ki Seno Nugroho) telah berupaya untuk memulai menggunakan sarana media teknologi media berbasis internet guna menyiarkan langsung ataupun menayangkan siaran tunda (hasil rekaman pementasan) dari pertunjukan wayang kulit (Cohen, 2019; Wahyudi, 2021). Pemanfaatan kemajuan teknologi adalah sarana pendidikan sekaligus hiburan seni bagi generasi muda (Gono & Rakhmad, 2021; A. Setiawan, 2020). Komunikasi yang dibangun tidak hanya melalui fitur komunikasi yang terdapat di Youtube Chat, optimalisasi menjalin komunikasi dengan penonton/khalayak juga turut dikembangkan melalui aplikasi media sosial lainnya seperti Facebook.

Bali Buja merupakan komunitas budaya yang beranggotakan kelompok-kelompok masyarakat pegiat seni. Bali Buja adalah perwujudan kesepakatan antar anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat, yaitu minat pada ekspresi seni dan budaya tradisional Jawa. Bali Buja dapat disebut juga sebagai kelompok seniman. Seniman disebut Patriotta & Hirsch (2016) dengan lambang istilah “pengambil risiko”. Seni dan orang-orang yang bekerja di dalamnya membangkitkan ide, inovasi, orisinalitas, dan kebebasan. Terlepas dari ini, seniman bekerja dalam pemahaman konvensional yang menentukan karier mereka. Seniman secara kreatif mengembangkan karier, memperoleh sumber daya, mencapai pengakuan untuk tujuan penerimaan sosial. Pengarusutamaan pertunjukan seni lokal merupakan sebuah proses yang dijalankan oleh Bali Buja untuk memberikan peluang bagi kelompok seni yang dianggap tidak penting atau tidak layak tampil melalui media massa. Pengolahan teknologi media menjadi bagian inovasi Bali Buja untuk upaya pengarusutamaan konten seni budaya tradisional di era digital.

Studi ini mengacu pada argumen akademik yang menyatakan bahwa komunitas mampu mengembangkan strategi adaptasi untuk mengembangkan media komunitas (Birowo et al., 2016; Jurriëns, 2019). Lebih lanjut, penelitian ini berargumen bahwa pemanfaatan beragam teknologi media komunikasi, seperti mengkombinasikan fitur berbagai aplikasi yang terkoneksi dengan internet, merupakan inovasi komunitas yang kemudian menjadi bagian dari solusi bagi komunitas agar bertahan dalam menjalankan media komunitas (Dwi Takariani, 2013; Guo, 2017; Panuju, 2017).

Dalam praktiknya, komunitas budaya menggabungkan media lama dan media baru – seperti radio dan internet – untuk melahirkan produk budaya (Hayes, 2018a). Berdasarkan Carpentier (2017) tentang translokalisme, peluang komunitas dalam mempertahankan identitas lokal untuk tujuan ketahanan budaya semakin terbuka melalui jalur globalisasi. Komunitas harus dapat memilah dan memilih aspek yang dianggap relevan dengan budaya lokal (Fleming & Ledogar, 2008). Ketahanan budaya merupakan upaya sekelompok masyarakat agar tangguh dalam membentuk identitas serta mempertahankannya (Beel et al., 2017; Makmur, 2014). Seperti yang dikemukakan oleh Price dan Narchi (2018), ketahanan budaya merupakan strategi yang dikembangkan masyarakat untuk beradaptasi terhadap perubahan. Lebih jauh, Wakhyuni et al. (2018) menyimpulkan bahwa masyarakat perlu memiliki keterampilan, intelektualitas dan bijaksana ketika budaya asing masuk ke dalam wilayah mereka.

Kreativitas menjadi bagian dari alat manusia agar dapat bertahan hidup. Peran berpikir kreatif untuk melahirkan inovasi telah memberikan bukti sejarah peradaban manusia (Fuentes, 2017). Friedman (2017) mengajukan pandangan tiga kekuatan terbesar era akselerasi pada abad ke-21 yaitu teknologi, pasar, dan alam. Akselerasi dari tiga kekuatan tersebut menjadikan dampak transformatif pada masyarakat. Peneliti berargumen bahwa adaptasi manusia dengan internet adalah bagian akselerasi dan implementasi daya kreativitas. Dapat dikatakan, manusia menggunakan internet sebagai ‘alat baru’ atau sebagai ‘medium’ alternatif agar dapat bertahan. Dengan kemajuan TIK seperti keberadaan internet, para pegiat seni dan budaya memiliki banyak pilihan. Media baru menjadi peluang kreativitas dan inovasi dari komunitas budaya dalam mengembangkan siaran konten budaya lokal. Dengan manfaat internet (Ghifarie, 2013), komunitas budaya lebih leluasa untuk melakukan inovasi penyebaran konten. Komunitas tidak lagi hanya fokus kepada batasan wilayah yang masuk dalam area jangkauannya, melainkan komunitas dapat meraih khalayak yang lebih luas. Seperti yang diungkapkan Love & Mattern (2013), bahwa internet mengaburkan batas antara komunitas lokal dan global. Komunitas budaya mengoptimalkan pemanfaatan platform atau aplikasi TIK untuk menjangkau khalayak yang lebih luas. Komunitas memiliki pilihan aplikasi yang beragam. Misalnya, penggunaan aplikasi seperti Youtube, Facebook, atau Instagram.

Kehadiran teknologi video streaming melalui beragam platform internet membantu seniman untuk berbagi hasil kreasinya. Aktivitas kreatif seniman melalui pemanfaatan media video streaming dikembangkan melalui video Youtube. Banyak seniman yang memilih menyiarkan langsung proses produksi kreatif mereka (C. A. Fraser et al., 2019). Aktivitas kreatif yang menggunakan teknologi media berbasis internet tersebut memungkinkan penonton untuk dapat belajar dan terinspirasi. Platform berbasis video seperti Youtube menjadi bagian dari pendukung utama untuk aktivitas kreatif dan kerja komunitas. Demikian juga, komunitas budaya seperti Bali Buja melakukan adaptasi terhadap inovasi teknologi media yang menggunakan sarana internet sebagai media siarnya. Kreativitas menjadi isu utama dalam bidang seni, khususnya dalam proses pencarian alternatif pemecahan beragam masalah. Inovasi dibutuhkan baik untuk membantu memahami karya seni serta proses berkarya. Bahkan, media daring berpotensi menjadi wadah ‘media baru’ untuk berbagi pengalaman berkreasi dengan cakupan yang lebih luas. Media daring secara kreatif melahirkan sebuah pertunjukan yang dapat dikonsumsi oleh banyak khalangan. Penelitian ini tidak terfokus kepada argumen mengenai aktivitas marjinalisasi yang dilakukan media arus-utama. Melainkan, penelitian ini akan lebih fokus kepada upaya kreatif dari komunitas budaya dalam merancang strategi media daring dan menerapkan inovasi untuk tujuan pelestarian kebudayaan lokal. Dengan kata lain, komunitas budaya tidak lagi bergantung dengan media arus utama, melainkan beradaptasi dengan cara mengolah potensi TIK seperti internet.

Model konvergensi media merupakan bentuk integrasi dari beberapa jenis media konvensional seperti radio, televisi dan teknologi internet. Konvergensi merupakan inovasi pergeseran teknologi analog ke digital yang mengubah ciri-ciri dasar produksi, penyimpanan, reproduksi, dan penyebaran budaya (Poster, 2011). Sebelumnya telah diamati bahwa konvergensi media berupa integrasi teknologi audio, visual dan internet merupakan bentuk pengembangan media massa (Asy’ari & Marantika, 2020; Cordeiro, 2012; Doyle, 2010a; Dwi Takariani, 2013; Haqqu, 2020; Mahaswari, 2017). Implementasi pengembangan media radio dan televisi dengan metode konvergensi salah satunya adalah siaran langsung atau live streaming. Layaknya teknologi baru, manusia juga membutuhkan waktu untuk dapat beradaptasi dan menerima. Lebih lanjut, Doyle (2010a) memaparkan peningkatan penggunaan internet dan perangkat multi-media disertai dengan berkembangnya konten media yang tersedia dalam berbagai platform, secara luas konvergensi diterima oleh masyarakat.

Pengembangan aplikasi musik, aplikasi radio, aplikasi video di perangkat mobile pada dasarnya merupakan inovasi konvergensi media. Kemajuan TIK yang ditunjukkan optimalisasi konvergensi aneka platform dalam perangkat telepon pintar (Berry, 2006) membawa pola perubahan masyarakat dalam mengkonsumsi konten (Chan-Olmsted & Wang, 2020). Platform atau aplikasi telepon pintar berkarakter portabel, hal tersebut memudahkan masyarakat untuk mengkonsumsi konten di mana saja. Melalui keberadaan aplikasi dengan kemampuan live streaming (aliran langsung) atau teknologi on demand (sesuai permintaan), masyarakat baik pengelola media ataupun khalayak yang menikmati tidak lagi bergantung pada perangkat analog. Aplikasi podcast (siniar) yang bersifat audio on demand (Meisyanti & Kencana, 2020) atau aplikasi Spotify, Youtube memiliki karakter serupa yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih konten yang dikehendaki (Riesewijk, 2017; Widdicks et al., 2019). Perkembangan teknologi media dengan konten sesuai permintaan membuat ceruk khalayak juga semakin spesifik. Manfaat lain yang diterima khalayak adalah kemampuan mengatur playlist atau daftar konten yang akan dikonsumsi secara mandiri tanpa menunggu olahan konten program dari pengelola media.

Media komunitas lebih sering dipahami sebagai suatu media yang terbatas kepada lingkungan wilayah tertentu dengan batasan geografis. Pemanfaatan integrasi beragam aplikasi atau multi-platform dalam teknologi internet untuk keperluan komunikasi efektif pada sebuah komunitas lokal diasumsikan sebagai media hiperlokal (van Kerkhoven, 2020). Perspektif lebih luas diajukan Howley (Howley, 2009) yang menyebutkan bahwa media hiperlokal adalah pengembangan dari media komunitas model konvensional. Merujuk yang disampaikan oleh Radcliffe (Radcliffe, 2012), media hiperlokal merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut pengembangan bentuk media dalam lingkup lokalitas berbasis geo-lokasi internet. Seperti yang dikatakan Metzgar et al. (2011a), ada beberapa usulan definisi dan kriteria untuk menggambarkan dari operasi media hiperlokal. Dovbysh (Dovbysh, 2021) menyebutkan bahwa media hiperlokal adalah spesies baru ekologi media lokal yang dihasilkan dari teknologi internet dan digital. Media hiperlokal memiliki fokus yang sempit pada beberapa topik ataupun wilayah geografis (Kurpius et al., 2010). Para sarjana menyatakan bahwa inovasi yang dilakukan media komunitas menggunakan TIK memiliki sifat hiperlokal (Birowo et al., 2016; Tenor, 2018a; Williams et al., 2014) peran yang dimainkan dalam media hiperlokal juga memiliki kesamaan dengan media komunitas, yaitu berbasis rasa saling memiliki (Hess & Waller, 2015), voluntarisme (Borger et al., 2016), partisipatif (Waldman, 2011), memiliki karakter informal, bersifat bottom-up (Williams & Harte, 2016).

Berkembangnya layanan konten digital serta perubahan ekosistem dalam media lokal turut mendukung munculnya media hiperlokal (Hujanen et al., 2019). Kajian dalam penelitian ini berangkat untuk mengetahui kegunaan serta makna dari pemanfaatan media komunitas berbasis media hiperlokal bagi komunitas budaya. Salah satu tantangan dalam penelitian ini yaitu bahwa media hiperlokal yang sebelumnya lebih digunakan pada studi dan fokus media jurnalistik, berdasarkan argumen awal peneliti dapat digunakan oleh sebuah media komunitas yang lebih mengedepankan konten seni dan budaya.