2.3 Kearifan Lokal: Ekspresi Kesenian Lokalitas Seni
Tujuan dan ruang lingkup partisipasi media komunitas berbeda dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Seperti yang diungkap Downing (2000), media komunitas seringkali memiliki hubungan yang kuat antara gerakan sosial dan ‘tuntutan perubahan’. Media komunitas menjadi penting untuk kehidupan masayarakat sebagai media ekspresi atas pemikiran dan sikap secara spontan. Gairah dan sifat partisipatif menjadi atribut dasar dari media komunitas. Gairah ditransmisikan oleh komunitas yang jarang terlihat dalam media komersial atau media arus-utama (Girard, 1992). Media komunitas memungkinkan keterlibatan baik pengelola ataupun khalayak untuk berpartisipasi dalam menyampaika konten, menyiarkan musik, dan mencerminkan budaya mereka.
Media komunitas bertugas layaknya media publik atau lembaga penyiaran publik yaitu menjadi media untuk mempromosikan manfaat sosial dan budaya (Foxwell, 2001). Media komunitas digambarkan sebagai media yang bebas dari pengaruh politik dan ekonomi serta menjadi plaftorm keterlibatan yang berarti bagi masyarakat yang terpinggirkan secara tradisional ditinggalkan oleh lembaga penyiaran publik dan media komersial (Conrad, 2014). Lembaga penyiaran publik menampilkan program-program yang tidak lagi cenderung mengutamakan lokalitas namun lebih mengedepankan ‘pilihan konsumsi’ (Sunstein, 1999). Budaya dan komunikasi sebagai komoditas berkontribusi pada disparitas kekuatan komunikasi. Konsep ini dekat dengan argumen Fuchs (2020) yang memaparkan bahwa organisasi yang kuat mampu menjangkau lebih banyak orang daripada yang lebih lemah, yang pesannya mungkin tetap tidak terdengar. Pendekatan alternatif bertujuan menghindari kendala tersebut, seperti lembaga penyiaran publik dan media komunitas, tetap menghadapi tantangannya sendiri dalam masyarakat kapitalis.
Dampak yang tidak dipungkiri dari globalisasi yaitu terdapat fakta bahwa ketidakseimbangan arus global dapat mempengaruhi pemahaman konsep ‘ruang publik’ dan potensi peran ruang publik yang mungkin dimainkan di tempat-tempat tertentu (Couldry & Dreher, 2007). Studi dari Forde (2002) menyebutkan media komunitas sebagai sumber budaya penting dalam pengembangan konsep ruang publik. Lebih lanjut dalam penelitian selanjutnya, Forde (2003)fokus pada partisipasi, akses, dan peran budaya media komunitas dalam memproduksi konten lokal bagi kelompok masyarakat. Gagasan partisipasi dan ruang publik sebagai layanan publik memiliki sistem komunikasi demokratis (Fuchs, 2020) memungkinkan adanya kebebasan berekspresi. Hollander, Stappers, dan Jankowski (2002) mengamati bahwa kontribusi media komunitas untuk proses pembangunan komunitas benar-benar berhasil ketika rasa komunitas telah berkembang dengan baik. Satu studi oleh Tucker (2013) menunjukkan media komunitas dikonseptualisasikan sebagai solusi untuk masalah pembangunan dalam strategi komunikasi proyek pembangunan serta alat peningkatan keterlibatan kebijakan demokratis. Sebagaimana dicatat Nirmala (Nirmala, 2015), saat ini organisasi relawan seperti kelompok sipil, LSM, organisasi perempuan melakukan produksi konten penyiaran untuk berbagi, berekspresi, memberdayakan, dan membuat suara mereka tersedia bagi banyak komunitas. Namun, Conrad (2014) juga menemukan keterlibatan dari pendonor media komunitas tidak serta merta menjadikan semangat independen tetap terjaga. Alih-alih melahirkan partisipasi yang berarti dalam produksi konten, penelitian Conrad menunjukkan bahwa dana donor telah membuat komunitas tertentu mengambil peran reseptor dalam proses komunikasi, daripada menghasilkan partisipasi yang signifikan dalam pembuatan media.
Dalam analisisnya tentang media komunitas dari perspektif politik, Tucker (2013) mengidentifikasi bahwa mendia komunitas menawarkan pendekatan alternatif untuk representasi masyarakat lokal. Media komunitas menyediakan alat penting dalam peningkatan kontemplasi dan komunikasi publik. Forde (2003) menyebutkan media komunitas merupakan sumber daya budaya penting yang memberikan pelayanan bagi komunitas etnis, masyarakat adat ataupun kelompok seni dan budaya lokal. Komunitas lokal memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi masalah budaya lokal. Dagron (2007) mengajukan rekomendasi bahwa media komunitas pertama-tama harus berpikir secara lokal untuk mengkonsolidasikan dan merepresentasikan identitas budaya. Forde (2002) berpendapat budaya penting dan secara praktis dilakukan secara eksklusif di tingkat lokal.
Seperti yang ditunjukkan oleh Howley (2009), bahwa media arus utama terlalu sering membuat baku karakteristik dan nilai yang dimiliki komunitas kecil, serta merusak ‘ekspresi budaya lokal’. Media arus utama cenderung membuat standar format hiburan, menawarkan berita standar yang tidak mencerminkan masyarakat lokal (Opel, 2004).
Sebuah studi oleh Hayes (2018a) meneliti tentang peran media komunitas sebagai mediator budaya dalam negosiasi translokal budaya lokal. Translokalisme menunjukkan negosiasi yang terjadi antara penyandang dana dan juga produsen konten lokal dalam media komunitas. Aktor lokal bekerja dalam struktur media komunitas dengan tetap mempertahankan akar mereka dalam budaya lokal (Carpentier, 2007b). Malik, Chapain, & Comunian (2017)menggunakan istilah “diversifikasi yang kreatif” untuk menunjukkan kerjasama yang melibatkan aktor lokal dan komunitas yang jarang atau belum pernah memiliki pengalaman produksi. Media komunitas dapat mendesentralisasikan dan menggabungkan tema arus utama dengan suara bawahan (Belotti & Siares, 2017; Villamayor & Lamas, 1998). Jurriëns menulis bahwa media komunitas mendorong eksploitasi interaktivitas sosial, konektivitas, keramahan, serta budaya lokal (2013). Media lokal dan media komunitas mengambil peran budaya yang vital dalam memberikan layanan kelas satu kepada masyarakat lokal (Forde et al., 2003) ketika media arus utama meninggalkan masyarakat daerah yang terpinggirkan. Media komunitas memiliki kapasitas dalam mencerminkan budaya lokal dengan pelayanan khusus dengan cara yang tidak dilakukan media arus utama. Mall mencatat dalam penelitiannya (2018)berkaitan musik partisipatif dalam radio lokal, bahwa media komunitas menjadi ruang dalam melayani kebutuhan dan preferensi khalayak lokal. Hal tersebut ditunjukkan dengan jalinan yang erat antara publik dan staf media komunitas, melalui konten musik partisipatif guna membangun lokalitas musik bersama.
Dalam studi ini, peneliti berargumen bahwa konsep media komunitas yang terstruktur ditunjang dengan media digital dapat membantu komunitas lokal. Satu studi oleh Scifo (2015) menunjukkan bagaimana media komunitas dalam dengan platform radio berbasis Universitas, mampu membantu komunitas lokal untuk mendapatkan suara dalam sistem lokal. Saat ini, media berbasis komunitas di dunia semakin diakui dengan masuknya media komunitas dalam regulasi (Carpentier & Scifo, 2010; Howley, 2009; Jurriëns, 2003; Masduki, 2005), menunjukkan potensi pemberdayaan media lokal. Perkembangan teknologi juga turut memberikan dukungan terhadap bertambahnya saluran media komunitas melalui beragam platform komunikasi partisipatif, distribusi jejaring media sosial, bertumbuhnya publikasi konten media melalui media digital. Peneliti berargumen bahwa komunitas masyarakat terpinggirkan yang kurang terwakili media arus utama dapat memanfaatkan keragaman teknologi. Dengan mempelajari keterampilan yang diperlukan dalam proses produksi konten berbasis digital ataupun internet, memungkinkan komunitas untuk mendapatkan kepercayaan diri untuk menyuarakan komunitas dan mewujudkan tujuan mereka.
Banyak penelitian telah menetapkan bahwa budaya dan subkultur besar di berbagai wilayah dunia, berubah dari waktu ke waktu sebagai akibat dari proses globalisasi (Irani & Noruzi, 2011). Globalisasi umumnya digunakan untuk menggambarkan proses di mana beragam komunitas dan ekonomi menjadi lebih terjalin (Rahayu et al., 2020). Globalisasi dianggap berhasil menghilangkan sekat budaya antar negara, tetapi juga dapat berfungsi untuk mengurangi tingkat integrasi (Ritzer & Dean, 2019). Saat ini, masyarakat tidak bisa mengabaikan globalisasi yang menjadi landasan pembangunan dan menyebabkan perubahan sosial dengan mengaburkan batas budaya serta geografis (Riaz & Arif, 2017). Batas budaya yang semakin kabur antar negara disertai dengan pengaruh substansial budaya eksternal berdampak terhadap budaya lokal. Budaya modern juga menguat di seluruh dunia sehingga nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi ciri khas tradisional dalam budaya lokal ditinggalkan (Anwar et al., 2020; Ullah & Ming Yit Ho, 2020).