Kajian Literatur

Bab 1 menjelaskan argumen dari penelitian ini, yaitu media komunitas dengan optimalisasi TIK menjadi solusi bagi pengembangan praktik produksi konten kesenian dan kebudayaan untuk tujuan ketahanan budaya. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan media komunitas antara lain media alternatif (Atton, 2002), media aktivis (Lievrouw, 2011; Waltz, 2006), media warga (Rodríguez, 2008; Stephansen, 2018), media akar rumput (Gillmor, 2006; Jurriëns, 2013), media partisipatif (Cammaerts, 2009; Semujju, 2014) atau media berbasis komunitas (Halleck, 2002; Howley, 2009). Gordon menyebut istilah media sipil sebagai media komunitas dengan alat dan praktik digital baru (Gordon et al., 2016; Gordon & Mihailidis, 2022). Media komunitas beroperasi mengacu pada konsep partisipasi komunikasi dengan melibatkan orang-orang terpinggirkan untuk produksi konten media yang sesuai dengan minat, kebutuhan, dan selera komunitas.

Media komunitas sebagai media kritis menunjukkan bahwa media tidak hanya terbatas pada fokus partisipasi sekelompok masyarakat. Sandoval & Fuchs (2010) menantang anggapan optimisme definisi media alternatif dengan menyarankan bahwa media komunitas perlu ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yaitu sebagai bentuk visi masyarakat alternatif. Pengembangan media berbasis sekelompok masyarakat dianggap cocok untuk pembangunan komunitas lokal yang memungkinkan berkembangnya gerakan sosial serta kelompok aktivis. Sehingga, media tidak hanya mendiskusikan mengenai interaksi kelompok melainkan pembentukan ranah masyarakat (Sandoval & Fuchs, 2010).

Tujuan kajian literatur ini adalah untuk meringkas beberapa hal yang menjadi latar belakang perlunya melakukan penelitian terhadap komunitas budaya yang melakukan optimalisasi penggunaan media komunitas untuk tujuan ketahanan budaya. Diskusi kajian literatur dalam bab ini terfokus kepada perubahan bentuk media komunitas karena perkembangan TIK.

Peneliti akan membagi bab ini menjadi beberapa sub bab, yaitu: media komunitas dan marjinalisasi, komunitas budaya, kearifan lokal, serta teknologi media untuk ketahanan budaya.