4.4       Diskusi

Seperti yang telah diungkap sebelumnya, Bali Buja merupakan singkatan dari Paguyuban Peduli Budaya Jawa. Bali Buja disebut sebagai sebuah paguyuban masyarakat karena ditandai dengan kesamaan sikap para anggotanya terhadap pentingnya mempertahankan kesenian tradisional. Namun demikian, jika dikaitkan dengan konsep paguyuban atau gemeinschaft, bentuk organisasi seperti Bali Buja lebih dekat kepada model komunitas genossenschaft atau kooperatif (Adler, 2015). Paguyuban, lebih lanjut disebut oleh Adler memiliki bentuk organisasi yang secara militasi menentang inovasi. Peneliti mempertimbangkan konsep kooperatif atau kolaboratif ini. Dari beberapa inovasi yang dikembangkan oleh Bali Buja merupakan hasil kerja kolaborasi dari beberapa individu ataupun kelompok masyarakat.

Penelitian ini berangkat untuk menggali peran komunitas penggerak seni budaya dalam mengekspresikan budaya lokal melalui media komunitas berbasis teknologi, hal tersebut dilakukan di tengah semakin berkembangnya inovasi yang dikembangkan oleh media arus utama. Secara empiris produksi makna oleh media arus utama menghasilkan realita populer dan meredupkan kearifan lokal. Kehadiran sistem media komersial global seperti media arus utama, memang diakui tidak sepenuhnya menjadi negatif, ada bagian promosi pesan kebaikan yang muncul dalam konten, seperti pesan nasionalisme, pesan anti- rasis, anti-seksis yang memang masih bisa diterima (Iwabuchi, 2019; Kaur, 2020). Namun, sistem tersebut dianggap memiliki kelemahan dalam upaya mewakili kepentingan publik. Seperti secara kritis dikemukakan McChesney (1997) bahwa sistem media komersial global beroperasi untuk mempercepat tujuan pasar global dan melakukan promosi terhadap nilai komersial termasuk diantaranya mencemari jurnalisme dan budaya yang tidak kondusif.

Dalam menghadapi budaya populer yang masuk melalui globalisasi diperlukan ketahanan oleh masyarakat, merujuk kepada Quaritch Wales, bahwa kearifan lokal diperlukan dalam menghadapi pengaruh yang ditimbulkan dari budaya asing saat kedua budaya saling berhubungan (Ayatrohaedi, 1986). Dalam konteks globalisasi, muncul kekhawatiran dari masyarakat yang selama ini memiliki perhatian dengan keberadaan budaya lokal yang mengusung kearifan lokal berupa simbol kesenian (Karsidi, 2017) terancam karena harus berhadapan langsung dengan cepatnya arus budaya populer yang masuk (Ravi & Guru, 2016). Sarjana menyatakan simbol-simbol kesenian adalah bentuk eskpresi simbolik yang bersifat non-artefak (Muktiyo, 2014; Pawito, 2007; Zhang & Moe, 2017). Contohnya adalah tari, tembang, pentas teater/drama, musik, dan puisi. Dengan pemanfaatan teknologi masyarakat dapat beradaptasi dan transformasi dengan teknologi, strategi tersebut memberikan peluang lebih luas dalam misi pelestarian budaya lokal (Mubah, 2011; Surahman, 2016).

Dalam konsep pengajaran di Jawa dikenal memayu hayuning bawana. Konsep tersebut merupakan falsafah hidup yang berakar dari kearifan lokal (Endraswara, 2013). Memayu hayuning bawana menjadi panduan bagi masyarakat Jawa untuk hidup selaras dengan lingkungan, keseimbangan, dan tanpa terlibat pada suatu perilaku yang mengancam orang lain. Konsep ini mengajarkan harmoni atau keseimbangan. Endraswara (2013) lebih lanjut mengungkapkan bahwa orang Jawa percaya bahwa semua interaksi sosial dan dinamikanya didorong oleh konsep keseimbangan. Interaksi sosial dijaga agar tidak terjadi gejolak, kembali mengutamakan nilai keseimbangan dan kedamaian (S. S. Nugroho & Elviandri, 2018). Konsep ini konsisten dengan pandangan yang diungkapkan oleh Mulders (2010) dan Magnis Suseno (2004) bahwa cita-cita masyarakat Jawa cenderung menuju harmonisasi dan percaya setiap orang dengan segala minatnya merupakan kontributor yang berharga dari sebuah komunitas. Gotong royong yang diterapkan oleh komunitas Bali Buja adalah cermin dari kehidupan sosial memayu hayuning bawana. Membangun media komunitas sebagai sarana pelestarian tradisi adalah upaya penting dalam menjaga harmoni. Berdampingan dengan kemajuan teknologi yang dihasilkan oleh globalisasi, komunitas budaya memiliki pandangan bahwa teknologi yang tersedia merupakan peluang untuk menjaga nilai esensial kearifan lokal.

Akselerasi globalisasi serta teknologi komunikasi telah memfasilitasi pertukaran ide, pengetahuan, dan budaya antara populasi dan lintas batas, seringkali secara real time. Sebaliknya, media komunitas sering ditentukan oleh konten lokal mereka yang eksplisit. Media komunitas sering ditentukan oleh wilayah geografis tempat mereka diproduksi dan target khalayak. Meskipun demikian, media komunitas yang diproduksi secara lokal di satu bagian dunia terkadang dapat memiliki dampak sosial, budaya, atau ekonomi di tempat lain.

Studi lain menegaskan keberhasilan strategi dari media komunitas bergantung pada dua kriteria (Granger et al., 2018). Pertama, materi yang dihasilkan secara lokal harus menginspirasi dan membangkitkan kepercayaan pada target komunitas. Kedua, anggota masyarakat harus mengidentifikasi diri dengan peserta yang terlibat dalam produksi. Pemodelan peran yang ditunjukkan oleh aktor sosial juga menjadi gagasan penting dalam perubahan perilaku yang direpresentasikan dalam program media komunitas. Anggota komunitas termotivasi untuk mengikuti kegiatan komunitas ketika mereka melihat aktor sosial sebagai panutan.

Globalisasi mendorong pengelola media komunitas untuk menciptakan konten lokal agar dapat dipublikasikan secara lebih luas. Penelitian sebelumnya (Bogaerts, 2017) menunjukkan media arus-utama masih minim untuk sediakan ruang bagi budaya lokal. Sebgai bagian dari produk industri media, media arus utama melakukan seleksi terhadap konten budaya ke khalayak. Alih-alih memberikan tayangan yang memiliki tujuan mulia yaitu memperbaiki perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik, tetapi konten yang dihadirkan justru tayangan yang melanggar etika. Kekuatan pemodal di belakang kepemilikan media arus utama memengaruhi kebijakan konten media. Hal ini dapat dijelaskan dengan konten yang tidak lagi berbasis kepada kebutuhan masyarakat, melainkan sebagai media untuk memenuhi ambisi pemodal. Komodifikasi media menjadikan media arus utama tidak lagi disebut sebagai saluran utama masyarakat untuk memperoleh layanan informasi dan hiburan. Sedangkan media komunitas dalam beragam jenis teknologi, seperti radio komunitas, televisi komunitas ataupun media komunitas platform yang berbasis daring, modal dan sumber daya terpenting mereka yaitu pengetahuan dan kreativitas. Media komunitas tetap disebut sebagai bagian dari sebuah produk industri kreatif meskipun tujuannya tidak fokus kepada mendapatkan keuntungan finansial.

Industri kreatif semakin berkembang di era digital, namun demikian istilah industri kreatif telah menjadi bahan diskusi sejak tahun 1994 (Moore, 2014). Hartley (2005) menyebut industri kreatif sebagai gagasan manusia, kemampuan, pengalaman yang disertai usaha keras. Industri kreatif saat ini bergantung pada modal sosial, jaringan komunikasi, dan komunitas. Aktivitas Bali Buja merupakan bagian dari industri kreatif untuk tujuan penguatan identitas yang ditanamkan antar generasi. Merasa bahwa nilai keluhuran budi atau berperilaku merupakan kearifan lokal yang tertanam dalam seni budaya perlu dilestarikan. Bagi, masyarakat Bali Buja, seni dan budaya yang terekspresikan melalui seni karawitan, kemudian wayang kulit dan wayang orang adalah bagian dari wujud latihan toleransi antar warga. Seperti yang disampaikan oleh Sumarsam (2018) bahwa setiap irama dan tabuhan (pukulan) yang dilakukan oleh pengrawit memiliki makna. Kesadaran diri baik antara pengrawit, seperti gending dan pesindhen memerlukan keterlibatan toleransi rasa. Kebiasaan memainkan seni karawitan akan menjadi bermanfaat bagi kebutuhan psikologis masyarakat Bali Buja. Ada sesuatu keuntungan yang tidak didapatkan melalui uang, lebih dari sekadar kebutuhan finansial. Melainkan, kepuasan akan menyadari diri bahwa ketika memainkan musik dengan berhasil menyesuaikan irama, tujuan untuk ‘ngelaras’ menjadi pencapaian personal.

Peneliti melihat keinginan awal dari penggagas Bali Buja yaitu Djaetun pada dasarnya adalah keinginan pribadi untuk menyenangkan banyak orang, sesuai kemampuan Djaetun. Hal tersebut merupakan perwujudan rasa syukur dan pengabdian Djaetun sebagai seorang sesepuh dari Klaten yang telah merasa cukup bekerja dan berkarir di Jakarta, kemudian memilih untuk kembali ke kampung halaman. Selain tujuan menyenangkan banyak orang, Djaetun juga memiliki semangat moral yang menginginkan berbuat baik kepada banyak orang. Kecintaannya dengan seni tradisi, layaknya masyarakat Jawa pada umumnya, kemudian langkah untuk menyenangkan banyak orang diwujudkan melalui pembentukan paguyuban kelompok seni budaya di wilayah tempat tinggal. Jika dibandingkan dengan kegiatan sejenis, berdasarkan observasi sebelumnya peneliti menemukan kanal-kanal sejenis yang berkaitan dengan seni. Seniman wayang kulit, Ki Seno Nugroho juga dikenal secara luas melalui kanal khusus yang dibentuk melalui YouTube. Di Klaten pun, sudah mulai berkembang seniman-seniman lokal yang mulai menggunakan platform internet untuk menyiarkan kegiatan seni dan budaya. Namun, sesuai dengan pemaparan Djaetun sebelumnya bahwa perbedaan Bali Buja adalah untuk memberikan kesempatan kepada seniman-seniman muda, kelompok seni yang terpinggirkan dan tidak memiliki akses pada media arus-utama. Media arus-utama yang dimaksud dalam bagian ini adalah televisi nasional, televisi lokal, radio siaran swasta dan kanal YouTube.

Alih-alih sebagai senior seniman yang ingin melestarikan budaya Jawa, Djaetun menganggap Bali Buja justru lebih memilih untuk menggunakan paguyuban ini menjadi sebagai sarana silaturahmi untuk berbagi kebaikan. Seni pertunjukan seperti karawitan dan lainnya, jika terus dikembangkan kemudian dikelola secara berkelanjutan pada setiap generasi, akan memberikan peluang kearifan lokal dan keluhuran budi yang tersirat dalam seni bisa diaplikasikan seterusnya. Kekhawatiran akan globalisasi yang membawa aneka ragam budaya masuk ke daerah, kemudian beralih menjadi perwujudan masyarakat Jawa yang memahami keadaan atau disebut oleh literatur Jawa dengan ‘ngelmu kahanan’ sebuah konsep dari kultural Jawa yang bertujuan menyiasati keadaan.

Satu-satunya yang konstan dalam perkembangan sosial dan teknologi adalah perubahan. Lingkungan yang bergejolak memerlukan perubahan berkelanjutan pada tingkat individu – aktor sosial, generasi – dan pada tingkat masyarakat. Dinamika perubahan sosial membutuhkan respon yang cepat dari para aktor sosial, yang harus dibekali dengan pengetahuan dan kompetensi teknologi untuk merespon perkembangan sosial. Dalam masyarakat pengetahuan, para ahli yang berkualifikasi tinggi perlu terlibat dalam pembelajaran seumur hidup proaktif agar lebih mampu menghadapi perubahan sosial saat ini.

Banyak aktor terlibat dalam mewujudkan tujuan ketahanan budaya melalui pengembangan komunitas budaya. Pada bagian ini, penelitian fokus pada peran aktor sosial dalam pengembangan aktivitas seni dan budaya oleh Bali Buja. Studi ini menegaskan bahwa aktor sosial (Lamb & Kling, 2003) memainkan berbagai peran untuk menghasilkan produk melalui interaksi dengan aktor lain dalam berbagai konteks. Aktor-aktor sosial tersebut kemudian berinteraksi satu sama lain lintas tingkat organisasi maupun dengan aktor organisasi eksternal melalui berbagai mekanisme untuk bertukar sumber daya. Seorang profesional, kelompok perusahaan, atau anggota organisasi yang bekerja secara kolektif, atau organisasi yang berinteraksi dengan otoritas lingkungan adalah contoh aktor (Lamb, 2003). Lamb & Kling (2003) mendefinisikan aktor sosial ke dalam empat dimensi yaitu lingkungan, afiliasi, interaksi, dan identitas. Di dalam Bali Buja, aktor sosial tidak sebatas menjadi pengguna dari media komunitas ataupun sebagai khalayak; mereka juga dapat menjadi pencipta dan pelaksana, memainkan berbagai peran dalam penggunaan dan penerapan teknologi di dalam media komunitas.

Media komunitas disebut sebagai komunikasi perubahan sosial (Granger et al., 2018). Media komunitas menggabungkan kemampuan teknologi dalam menyampaikan pesan pemberdayaan masyarakat baik untuk kesejahteraan mereka dan meningkatkan semangat. Peneliti berargumen bahwa media komunitas sebagai media apa pun yang didukung teknologi yang dibuat, digunakan untuk keperluan komunitas. Beragam alat dan bentuk media komunitas menjadikannya pilihan menarik untuk komunikasi ketahanan budaya. Pengelola media komunitas terus berkembang saat mereka melakukan integrasi dan memanfaatkan teknologi media yang muncul dengan saluran komunikasi untuk melayani kebutuhan khusus komunitas dengan lebih baik. Kapasitas media komunitas untuk meningkatkan keterlibatan, akses, pembelajaran sosial, keterlibatan masyarakat semakin dimungkinkan dengan fungsi teknologi informasi dan komunikasi (Carpentier, 2015; Škripcová, 2016). Teknologi menguntungkan komunitas untuk menyesuaikan pendekatan media komunitas dengan budaya, lingkungan dan visi mereka sendiri. Kemampuan beradaptasi ini memungkinkan media komunitas berkembang dalam menanggapi perubahan kebutuhan masyarakat dan kemajuan teknologi. Media komunitas memposisikannya untuk terus berfungsi sebagai alat yang memungkinkan individu dalam berbagi pengalaman mereka guna operasionalkan fungsi ketahanan budaya. Bagian selanjutnya dalam penelitian ini, peneliti akan mensintesis penelitian tentang media komunitas, menawarkan prinsip dan rekomendasi yang praktis untuk membantu pengelola media komunitas dalam mengevaluasi penggunaan berbagai bentuk platform pada media komunitas