4.2.1 Tentang Bali Buja
Bali Buja adalah paguyuban seni, sebuah asosiasi penghimpun kelompok-kelompok masyarakat yang peduli dengan kesenian tradisional. Nama Bali Buja sendiri merupakan singkatan dari Paguyuban Peduli Budaya Jawa. Bali Buja memiliki pusat lokasi pertemuan di Desa Tlogo, Prambanan, Kabupaten Klaten. Desa Tlogo yang menjadi tempat studi ini dilakukan, merupakan sebuah desa yang terletak di sebelah barat Candi Prambanan. Desa Tlogo juga dikeliling beberapa candi peninggalan sejarah diantaranya terdapat Candi Plaosan dan Candi Sojiwan. Letak geografis Desa Tlogo ini menjadi nilai tambah dari keunikan Bali Buja sebagai paguyuban seni yang tidak jauh tempat operasionalnya dari lokasi bersejarah. Candi-candi yang terdapat di wilayah Jawa Tengah ini pun hingga saat ini masih aktif menjadi pusat kegiatan spiritual selain berfungsi sebagai objek wisata.

Sumber: Dokumenter Bali Buja
Desa Tlogo menjadi pusat kegiatan Bali Buja yang berjarak 1,2 kilometer dari Candi Prambanan. Desa Tlogo memiliki mayoritas penduduk dengan mata pencaharian dalam bidang pertanian dan perdagangan. Begitu pula relawan Bali Buja yang tergabung dalam anggota kelompok seni rata-rata memiliki profesi sebagai petani, pedagang dan sebagian adalah pegawai negeri. Bali Buja merupakan wadah bagi para anggotanya untuk mengembangkan minat dan semangat terhadap kegiatan berkesenian. Selama pertunjukan, mereka menunjukkan motivasi dan kegembiraan melalui manifestasi artistik.

Sumber: Dokumenter Bali Buja
Tidak hanya untuk mengembangkan minat dan meluapkan ekspresi kesenian, partisipasi relawan Bali Buja juga didasari dengan tujuan yang sama yaitu pelestarian budaya tradisional. Mereka melakukan aktivitas seni sebagai bagian dari menjaga nilai kearifan lokal yang terkandung dalam produk kesenian. Seperti nilai filosofis keluhuran budi, sebuah nilai yang terus dipertahankan oleh masyarakat Jawa untuk menjaga identitas. Aktivitas berkesenian yang mereka lakukan kemudian sekaligus menjadi media untuk pendalaman makna filosofis kehidupan.
Berkesenian Bali Buja seperti melalui permainan gending di dalam seni karawitan, menari, memainkan karakter dalam sendratari, adalah sarana perwujudan guyub warga. Bali Buja sebagai paguyuban seni menjadi tempat bagi kelompok-kelompok seni daerah untuk beraksi. Dengan kata lain, jika meminjam terminologi dari komputer, Bali Buja disebut sebagai aggregator atau pengumpul bagi kelompok seni yang tidak memiliki ruang di media arus-utama. Kelompok-kelompok seni yang bergabung dianggap belum memiliki kualitas layak tampil secara luas melalui media arus-utama. Akibatnya, kesempatan untuk menunjukkan diri pun menjadi terbatas. Tujuan mereka berkolaborasi yaitu menciptakan ruang bagi kelompok-kelompok seni terpinggirkan.
Bali Buja diikuti oleh anggota masyarakat dengan latar belakang aneka profesi dan status. Misalnya kelompok seni dari warga yang terdiri petani dan pedagang. Di samping itu, terdapat pula kelompok pelajar dan guru. Bali Buja pun menampung pengisi konten dari seniman yang senior. Mereka saling berkolaborasi dan secara kooperatif membangun konten seni sesuai dengan minat dan kreativitas masing-masing kelompok.
Sebagai sebuah paguyuban, Bali Buja menaungi beberapa kelompok seni yang terdapat di Klaten. Seni karawitan lebih sering mendominasi jadwal penampilan Bali Buja jika dibandingkan dengan jenis seni lainnya. Sesekali Bali Buja mengadakan kegiatan wayang kulit dan sendratari. Beberapa dusun yang berada di sekitar Desa Tlogo yang memiliki kelompok seni rakyat, diberikan kesempatan untuk tampil melalui media yang telah disediakan oleh Bali Buja. Setiap kelompok seni yang menginginkan tampil tidak ditarik atau dipungut biaya, prosedurnya pun cukup mudah yaitu mendaftarkan diri langsung ke Koordinator Bali Buja yaitu Sentot Murdoko. Kemudian, setiap Rabu malam atau setiap pertunjukan berlangsung, kelompok yang ingin tampil mendaftarkan diri dan dijadwalkan oleh Sentot. Bagi para warogo atau pengrawit atau anggota yang tampil akan mendapatkan apresiasi dari pengelola Bali Buja.
Sentot sebagai Koordinator Bali Buja pada awalnya juga merupakan seniman dari Kabupaten Klaten. Sentot adalah sosok yang menjadi motor penggerak dari paguyuban Bali Buja. Bersama dengan peneliti, Sentot menceritakan perkenalan awalnya dengan Bali Buja.
Sentot memulai aktivitasnya di Bali Buja diawali dengan menjadi pemain wayang orang dalam sebuah lakon cerita yang diadakan oleh Djaetun. Para pengelola Bali Buja memang sebagian besar adalah seniman. Kepedulian atas roso atau rasa seni dan budaya yang sama, menjadi salah satu pendorong bagi seniman untuk lebih mengupayakan keberadaan Bali Buja.
Sentot merupakan informan pertama dari kerja penelitian ini. Kemudian, studi ini berlanjut ketika peneliti dipertemukan dengan Djaetun Hardjosaputro atau Djaetun sebagai sosok utama dari keberadaan Bali Buja. Beberapa kali nama Djaetun disebut oleh Sentot sebagai inovator dari kegiatan Bali Buja. Peneliti mendapatkan informasi yang mendalam terkait makna yang ingin dihadirkan dari aktivitas Bali Buja, termasuk pada bagian lain dalam bab ini akan dipaparkan alasan Djaetun mengadakan kegiatan pemberdayaan masyarakat kelompok kesenian.
Bali Buja berangkat dari empati kelompok pecinta seni tradisional di Desa Tlogo, Klaten. Bali Buja dibentuk sejak tahun 2002 dan dipimpin Ratno Raharjo, seorang mantan Sekretaris Desa Tlogo dengan arahan Djaetun Hardjosaputro (Djaetun). Pendirian Bali Buja menjadi titik awal dikenalnya kiprah Djaetun dalam bidang seni tradisional Jawa. Arahan Djaetun pada saat membentuk Bali Buja dilandasi kepada pengamatan bahwa belum ada wadah yang secara khusus memfasilitasi keperluan aktivitas seni dan budaya di Desa Tlogo, Prambanan. Bali Buja kemudian digerakkan dengan tujuan melaksanakan regenerasi seni serta kebudayaan Jawa. Sebagaimana pusat kegiatan masyarakat, Bali Buja dikelola secara mandiri. Pengelolaan Bali Buja melibatkan orang-orang yang memiliki hubungan dekat dan sudah mengenal Djaetun.
Berdasarkan pemaparan Sentot, kegiatan Bali Buja awalnya adalah pertunjukan seni setiap hari Rabu malam yang dinamakan Malam Kemisan. Kegiatan ini diisi dengan kelompok karawitan yang dibentuk oleh Djaetun. Selain seni karawitan, Bali Buja juga mengadakan pertunjukan wayang kulit pada hari Sabtu legi dengan menghadirkan dalang- dalang muda. Kegiatan tersebut kemudian diikuti dengan ide penampilan seni karawitan dalam jenis cokekan. Cokekan adalah bagian dari seni gamelan yang mengutamakan iringan berupa kendang, gender, dan siter. Kegiatan ini dilaksanakan secara khusus pada hari Selasa Kliwon. Seperti yang diungkapkan oleh Sentot, bahwa seni cokekan ini memiliki latar belakang yang sedikit berbeda dibandingkan dengan gagasan acara Malam Kemisan ataupun pertunjukan wayang kulit. Seni cokekan ini diadakan sebagai bentuk kegiatan mengenang atau memperingati meninggalnya ayah dari Djaetun.

Sumber: Dokumenter Bali Buja
Mayoritas kegiatan Bali Buja dilaksanakan pada waktu malam hari. Pelaksanaan waktu malam hari diamati oleh peneliti sebagai konsekuensi dari pemain karawitan yang lebih banyak memiliki aktivitas harian pada pagi hari. Seperti yang telah disebutkan di atas, sebagian besar relawan Bali Buja adalah petani dan pedagang. Pertunjukan seni biasa dilaksanakan mulai pukul 9 malam. Komunitas seni yang telah mendapatkan kesempatan untuk tampil akan datang ke lokasi pendopo pada jam 7 malam atau setelah waktu Isya. Dilihat dari kebiasaan yang dilakukan oleh komunitas, setiap komunitas seni tidak hanya membawa rombongan pengrawit atau kelompok seni yang akan tampil tetapi juga membawa sekelompok penonton pendukung yang berasal dari rekan atau kerabat komunitas. Mereka bisa datang bersama-sama dengan menggunakan satu kendaraan truk besar atau dengan kendaraan kecil. Bahkan pada beberapa kesempatan, peneliti melihat pemimpin warganya pun turut hadir, misalnya Kepala Desa yang datang untuk tujuan mendampingi.
Terdapat dua lokasi yang digunakan bagi komunitas budaya Bali Buja untuk tampil, dalam kegiatan pentas mereka lebih sering menggunakan lokasi di Grha Purbo Waseso Kencono. Terdapat bagian khusus yang memang dipakai untuk menempatkan seperangkat gamelan, teras bagi penonton yang hadir langsung dan sebagian lagi terdapat taman outdoor yang digunakan untuk penonton undangan. Tempat lainnya adalah Grha Mahardhika Saniyasa, sebuah lokasi yang tidak jauh dari lokasi pertama, yaitu sekitar 1 kilometer. Di tempat ini Bali Buja memberikan kesempatan bagi seniman yang akan mengadakan latihan untuk pertunjukan khusus. Kedua lokasi tersebut masih menempati tempat dengan area geografis yang sama yaitu Desa Tlogo, Kabupaten Klaten.

Dalam beberapa kali pengamatan oleh peneliti, tempat ini digunakan sebagai lokasi latihan karawitan atau gamelan dan juga latihan menari. Sejak tahun 2020, tempat ini kemudian tidak digunakan lagi untuk acara yang melibatkan keramaian. Akibatnya, pusat latihan kemudian dipindahkan ke lokasi lain yaitu Grha Purbo Waseso Kencono. Lokasi awal yaitu Grha Mahardhika Saniyasa menjadi lokasi yang dirancang oleh pemiliknya, yaitu Djaetun sebagai tempat untuk menerima tamu dan pada malam tertentu dimanfaatkan sebagai ruang pribadi untuk kegiatan spiritual.
Bali Buja memanfaatkan media komunitas untuk menyiarkan aksi ekspresi keseniannya. Penggunaan medium konvensional seperti panggung terbuka dilakukan pada awal terbentuknya Bali Buja. Panggung terbuka didirikan di lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat, ataupun diadakan bersamaan dengan kegiatan ‘syukuran’ warga. Lokasi terbuka menjadi semakin mendukung guyub-nya antar warga. Seperti yang diungkapkan Sentot berikut ini:
“Lha terus kalau ada warga yang menginginkan kita muter Mas. Katakan Saya punya hajatan kok nggak mampu, ya sudah minta Pak Djaetun, untuk dibantu pak. Acaranya apa? katakan khitanan. Mau syukuran pakai apa? ada wayang kulit ada wayang orang ada ketoprak ada. Itu siapa yang menginginkan? dan itu muter setiap Kecamatan Mas.. dan kita juga menyediakan.. dulu ada sound system.. kostum panggung tratak kita sediakan semua.. tapi karena sekarang tenaga kita terbatas itu kita hanya menyediakan kostum sama gamelan.. dan sekarang tidak muter.. Setiap malam kamis di balai witono purbo kencono. Setiap malam minggu legi di tempatnya pak One, ada wayang kulit dari dalang-dalang se-Kabupaten Klaten.. Ini (karawitan) juga ini juga dari grup karawitan se-Kabupaten Klaten secara bergantian”
Kegiatan awal Bali Buja yang memanfaatkan panggung terbuka, pada awalnya memang dilaksanakan berdasarkan permintaan warga. Tidak hanya memberikan tempat bagi komunitas-komunitas budaya yang terpinggirkan, Bali Buja juga turut memberikan kesempatan bagi warga masyarakat yang ingin mengadakan kegiatan seni dan budaya untuk merayakan kegiatan syukuran. Proses pendaftaran begitu mudah diorganisir oleh Sentot selaku koordinator. Bali Buja bersifat terbuka untuk umum, bahkan tidak melihat asal daerah kelompok seni. Jika sebuah kelompok menginginkan untuk tampil, cukup hadir pada saat pementasan kemudian langsung mendaftarkan diri melalui Sentot.
Eksistensi Bali Buja kemudian dilanjutkan dengan perannya pada kegiatan-kegiatan yang menyangkut pelestarian budaya. Bali Buja mendukung menjadi kolaborator dari penyelenggara. Mereka pernah membantu koordinasi kegiatan wayangan yang diadakan oleh Kepala Desa. Tidak hanya aktivitas penampilan atau pertunjukan seni dan budaya, Bali Buja turut memfasilitasi kegiatan lain bersifat akademik. Sebagai contoh adalah pelaksanaan Ceramah Budaya yang bertujuan memperkenalkan wawasan seni kepada publik.
Kepedulian lainnya terhadap seni dan budaya yaitu keterlibatan Bali Buja dalam memfasilitasi sekolah-sekolah seni yang membutuhkan tempat dan dukungan untuk kegiatan ujian kompetensi, seperti ujian karawitan untuk pelajar seni karawitan. Berdasarkan informasi yang diterima oleh Sentot, SMK yang pernah berkolaborasi dengan Bali Buja diantaranya SMK Negeri 8 Surakarta dan SMK Negeri Bantul. Ujian yang pernah dibantu koordinasinya yaitu Ujian Rebab, Gender dan Sinden.
Bali Buja juga tercatat mengadakan kegiatan sendratari di panggung terbuka Alun- Alun Klaten. Pada tahun 2010, Bali Buja mulai memperkenalkan diri kepada publik melalui pertunjukan sendratari yang mengangkat judul “Jonggrang Love Story”, sebuah cerita yang diadaptasi dan dikembangkan berdasarkan kisah legendaris Roro Jonggrang. Berdasarkan penuturan Sentot, Bali Buja memang identik dengan inovasi. Dalam lakon “Jonggrang Love Story”, mereka mengutamakan pengembangan cerita dan penggunaan teknologi dalam panggung terbuka. Bali Buja merespon keinginan masyarakat yang ingin mendapatkan akses hiburan melalui pendekatan teknologi. Untuk alasan ini, Bali Buja beradaptasi dengan berupaya mempelajari teknologi yang dibutuhkan dalam rangka merealisasikan kedekatan dengan komunitas. Meskipun tidak mudah, namun inovasi tersebut diperjuangkan oleh mereka atas dasar semangat mewujudkan pelestarian budaya lokal. Konsep ketahanan budaya kemudian diterapkan oleh mereka, beradaptasi dengan perkembangan jaman termasuk teknologi media yang diterapkan dalam menyiarkan konten seni. Bali Buja memahami bahwa kreativitas dan inovasi diperlukan untuk mempertahankan eksistensi seni itu sendiri.
Pada bagian sebelumnya, peneliti mengungkap bahwa seni karawitan mendominasi penampilan Bali Buja. Seni karawitan merupakan salah satu jenis seni gamelan Jawa yang diakui menjadi warisan leluhur. Kekhasan dari seni karawitan yaitu menggunakan seperangkat alat musik gamelan yang terbuat dari besi bercampur kuningan. Berdasarkan data yang peneliti dapatkan dari BPS Kabupaten Klaten, terdapat sepuluh jenis kesenian yang berkembang di Klaten. Pada tabel 4.1 dipaparkan bahwa seni karawitan merupakan jenis kesenian musik yang memiliki peminat kelompok paling banyak jika dibandingkan dengan jenis kesenian lainnya. Terhitung terdapat 416 kelompok seni musik karawitan. Seni karawitan mendominasi dibandingkan dengan jenis kesenian yang lain. Berikut adalah data identifikasinya:

Sumber: BPS Kabupaten Klaten
Bali Buja cenderung tidak menggunakan media promosi yang masif untuk memperkenalkan aktivitasnya. Bali Buja lebih mengutamakan bentuk media getok tular atau dari mulut ke mulut. Salah satu relawan Bali Buja, Pak Suparno mengungkapkan:
Dunia maju seperti ini.. Masih ada sesepuh kita yang tetap ingin mempertahankan budaya-budaya Jawa.. seni dan sebagainya.. Dan ini sesuai dengan cita-citanya Pak Djaetun membuat senang orang lain.. Dan ini akan menjadi suatu ajang bagi masyarakat..
Pak Suparno merupakan koordinator dari IPPK atau Ikatan Purnakaryawan Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Klaten. Sebuah wadah yang menghimpun pensiunan pendidik. Karena memiliki latar belakang yang sama yaitu kecintaan pada aktivitas seni dan budaya, mereka kemudian membentuk kelompok seni. Pada tahun 2018, mereka turut tampil dalam salah satu kesempatan pertunjukan yang diadakan oleh Bali Buja.

Sumber: Kanal YouTube Galuh Prambanan TV
Bersama dengan IPPK, Bali Buja turut berpartisipasi untuk memfasilitasi kegiatan kompetisi karawitan yang diperuntukkan kepada kelompok-kelompok seni senior (pensiunan karyawan). Hal ini menjadi bentuk perwujudan komitmen dan kontribusi Bali Buja untuk memberikan ruang bagi seniman-seniman senior.

Sumber: Dokumentasi Bali Buja
Kompetisi karawitan untuk IPPK adalah contoh inovasi aktivitas yang dilaksanakan Bali Buja. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Sentot bahwa hal esensial yang dibangun oleh Bali Buja adalah: siapa yang menginginkan, siapa yang membutuhkan, kita saling membantu, terutama dalam kegiatan budaya.

Sumber: Dokumenter Bali Buja
Gagasan nyenengke wong akeh atau membuat banyak orang senang menjadi landasan dasar kegiatan Bali Buja. Landasan tersebut diungkapkan pertama kali oleh Pak Djaetun sebagai inisiator Bali Buja. Tujuannya adalah komunitas seni akan senang mendapatkan kesempatan untuk tampil dan diakui menjadi bagian dari pelestari seni budaya. Demikian pula warga yang menjadi khalayak turut senang karena mendapatkan hiburan dari komunitas seni. Seni sebagai hiburan memang diakui sejak lama sebagai bagian gaya hidup masyarakat Jawa. Panggung kesenian rakyat telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Jawa. Mulai dari sandiwara rakyat (ketoprak, ludruk, wayang wong), kemudian pertunjukan wayang kulit dan seni musik khas Jawa seperti karawitan. Beragam kesenian rakyat tersebut kemudian ditampilkan sebagai bagian dari hiburan dan media penyampaian pesan kepada masyarakat (Geertz, 2016).
Fungsi panggung terbuka yang diadakan atau digelar oleh Bali Buja pada awal dibentuk jelas memiliki perbedaan fungsi dengan pengembangan radio komunitas. Fungsi radio komunitas digunakan Bali Buja untuk tujuan memperluas jaringan dan menjangkau khalayak. Keterbatasan akses pada media arus-utama adalah alasan Bali Buja untuk menempuh jalur media komunitas sebagai media alternatif. Pertimbangan lain pemilihan media komunitas adalah alasan finansial. Radio Komunitas Bayat (RKB) adalah media komunitas pertama yang diajak untuk berkolaborasi karena memiliki semangat yang sama dengan Bali Buja. Berangkat dengan sama-sama memenuhi kebutuhan komunitas dan keinginan untuk melestarikan budaya, RKB kemudian menjadi mitra awal Bali Buja dalam menyiarkan konten ekspresi kesenian. Pengelola RKB juga sekelompok seniman.
Kontribusi yang menguntungkan dari kerjasama RKB adalah bertambahnya jaringan kelompok seni yang dimiliki Bali Buja. Keberadaan Bali Buja dan misi pelestarian budaya perlahan mulai semakin dikenal oleh warga Kabupaten Klaten. RKB dikenal oleh warga Klaten khususnya daerah Bayat karena perannya dalam menyiarkan konten-konten seni dan budaya. RKB telah menjalin kerjasama dengan beberapa dalang di Klaten untuk mendapatkan hak siaran langsung ataupun merekam pertunjukan wayang secara audio untuk kemudian ditayangkan dengan sistem siaran tunda. Karena kesamaan visi dan misi antara Bali Buja dan RKB, kemudian kolaborasi secara kooperatif diwujudkan untuk kebutuhan target khalayak Bali Buja.

Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sebagai konsekuensi dari keinginan untuk meraih khalayak yang lebih luas, Bali Buja mempertimbangkan penggunaan teknologi media seperti internet. Radio komunitas memang menjadi pilihan awal untuk menjangkau komunitas yang lebih banyak, khususnya yang menjadi target masyarakat di area lokasi yang tidak jauh dari Desa Tlogo, Klaten. Namun demikian, keterbatasan menjangkau komunitas yang tidak berada di area Desa menjadi salah satu pertimbangan Bali Buja untuk memanfaatkan teknologi yang lebih maju. Sebagai tambahannya, sebuah akun kanal dari platform YouTube yang telah ada sebelumnya yaitu Galuh Prambanan TV digunakan untuk menyebarluaskan siaran dari Bali Buja. Tidak hanya menggunakan media YouTube, Bali Buja juga mengelola akun media sosial Facebook sebagai sarana berbagi konten dengan nama akun Galuh Prambanan Televisi. Dalam bab selanjutnya pada laporan penelitian ini, peneliti mengkaji bentuk pemilihan media komunitas dan pengelolaanya.