4.3 Peran Aktor Sosial dalam Bali Buja
Pada suatu malam pertunjukan. Di tengah kesibukan aktivitas komunitas Bali Buja, peneliti bertemu dengan Djaetun. Djaetun yang merupakan inisiator sekaligus disebut sebagai relawan komunitas dan donatur memang berupaya untuk menyempatkan hadir dalam setiap pertunjukan seni yang ditampilkan. Di balik perjalanan Bali Buja, sosok Djaetun dianggap memiliki peran yang signifikan.
Jika sebelumnya telah dilakukan pendalaman terkait tujuan Djaetun dalam menyokong kegiatan Bali Buja. Kali ini, peneliti akan melihat ketulusan dan keikhlasan dari sosok senior bidang kesenian dan kebudayaan. Latar belakang beliau sebelumnya adalah pebisnis yang besarkan perusahaan di Jakarta. Setelah merasakan keadaan perusahan dapat ditinggalkan untuk diteruskan sang putra, Djaetun memilih untuk ‘kondur’ atau pulang ke tanah kelahiran, tempat beliau dibesarkan yaitu Klaten. Layaknya sosok profesional dari daerah yang kemudian memilih berjuang di Ibukota, terdapat ‘rasa ingin kembali’ pulang ke daerah, ketika tujuan utama untuk bekerja di Ibukota sudah dirasakan cukup. Artinya, ketika masa puncak kesuksesan dan keinginan mendapatkan sesuatu sudah terpenuhi, seseorang akan lebih memilih kembali untuk pulang kampung.
Begitu juga dengan sosok Djaetun, beliau memilih untuk kembali ke Klaten dengan tujuan ‘mbangun deso’. Terlahir sebagai sosok manusia Jawa yang kental dengan keyakinan ‘kejawen’-nya. Namun, juga mempelajari multi-kultural yang berkembang di Indonesia. Posisi spiritual beliaulah yang kemudian secara tidak langsung memberikan roso atau rasa terhadap setiap keputusan dan kebijakan yang diwujudkan melalui Bali Buja. Kecintaan terhadap seni dan budaya, diwujudkan dengan mengelola sebuah paguyuban yang memberikan payung besar bagi kelompok-kelompok seni terpinggirkan. Alih-alih bekerjasama dengan seniman yang telah memiliki nama di Klaten, Djaetun cenderung untuk memberikan sarana ekspresi kesenian bagi kelompok seni yang selama ini tidak mendapatkan kesempatan di media komunikasi arus-utama.
“Jadi saya ingin memberikan pesan kepada dunia itu keberhasilan itu jangan dilihat akhir, tapi lihatlah sebelumnya. Mengapa orang itu berhasil, mengapa bagaimana. Itu sebenarnya mas yang ingin saya utarakan” (Djaetun)
Djaetun melalui aktivitas Bali Buja juga memberikan gambaran kepada masyarakat khususnya kelompok seni yang masih belajar dan belum dikenal banyak orang bahwa proses merupakan bagian dari kehidupan dan bagian dari perjalanan menuju keberhasilan. Bali Buja dibentuk dan dikembangkan menjadi bagian tempat belajar bagi kelompok seni untuk berekspresi. Salah satu yang diwujudkan dalam aktivitas Bali Buja adalah pertunjukan wayang kulit yang diisi dengan dalang-dalang muda. Meskipun dalam perjalanan mengalami banyak pro kontra ataupun keluhan dari khalayak, namun, melalui aktivitas tersebut dalang pun juga menjadi berkembang. Umpan balik dari masyarakat menjadi pemicu bagi seniman muda yang masih terus berproses.
Proses komunitas Bali Buja digambarkan dengan ungkapan filosofi Jawa yaitu ngeli ning ora keli (mengikuti arus tetapi tidak hanyut dengan keadaan). Faruk (2020) menjelaskan bahwa ngeli ning ora keli adalah sikap orang Jawa terhadap perubahan, yang dapat dipahami sebagai sikap menerima perubahan tanpa mengorbankan jati diri. Tata cara ngeli ning ora keli ini merupakan upaya untuk menggali lebih jauh kehidupan warga Bali Buja selama menjalankan aktivitas seni dan budaya. Keputusan Djaetun dalam mengelola Bali Buja ditunjukkan dengan pendalaman keyakinan nilai-nilai kearifan lokal dari Jawa seperti ngeli ning ora keli. Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, meskipun memberikan tempat bagi budaya asing untuk masuk ke masyarakat, ternyata menjadi salah satu bagian inovasi untuk tujuan ketahanan budaya.
Berangkat dari pengalaman mengembangkan bisnis di Ibukota, kemudian Djaetun untuk menerapkan inovasi melalui penggunaan teknologi bagi pengembangan aktivitas kesenian di Klaten. Berdasarkan pengamatan peneliti, tidak sedikit anggaran ataupun investasi yang disiapkan untuk mendukung aktivitas Bali Buja. Ketertarikan untuk mendalami tujuan dan niat tulus Djaetun menjadi salah satu alasan peneliti untuk semakin menyelami dan ‘merasakan’ apa yang sebenarnya menjadi motivasi utama.
“Karena anggaran itu tidak ada kaitannya dengan pemerhati atau kemudian pelestari.. Nggak ada.. Kaitannya saya kemudian hanya saya ingin membuat seneng banyak orang.. Nah.. banyak orang itu diantaranya adalah Seniman.. Itu sebenarnya saya di situ.. Karena saya melihat Seniman itu yang paling melarat hidupnya.. Sebagian besar.. Jangan yang top top jangan.. Seniman terutama karawitan itu melarat sebagian besar.. Nah yang perlu saya openi” (Djaetun)
Seperti yang juga disampaikan oleh Sentot, koordinator Bali Buja. Bahwa keinginan utama dari Djaetun adalah bentuk pengabdian untuk masyarakat di sekitar tempat kelahiran. Keinginan untuk membuat banyak orang senang diwujudkan dengan cara memberikan modal (baik modal sosial ataupun anggaran) kepada kelompok seniman yang terpinggirkan atau belum dikenal banyak orang. Beberapa kali Djaetun menyebutkan (dengan kerendahan hati) bahwa beliau bukan sosok pemerhati budaya dan pelestari budaya.
Niatan untuk menolong sesama ditunjukkan oleh Djaetun tidak hanya melalui memberikan fasilitas kepada seniman. Hal lain yang menjadi perwujudan beliau yaitu dengan membeli seperangkat gamelan. Berdasarkan pernyataan beliau, Djaetun memiliki seperangkat gamelan berjumlah lima. Itupun dibeli bukan tujuan koleksi. Karena pada dasarnya seperangkat gamelan pun dianggap sudah cukup. Namun, keinginan dalam menolong orang lain adalah salah satu alasan beliau. Salah satu cerita yang diungkapnya adalah ketika membeli seperangkat gamelan dari sosok pembuat gong yang sudah sepuh di Solo dan mengaku sedang terdesak karena memiliki sakit stroke. Karena niatan utama adalah untuk membantu, sehingga Djaetun memutuskan seperangkat gamelan.
“Tujuan saya membuat senang banyak orang.. Yang sering berikan kepada siapapun.. Manusia yang paling manusia.. Utama..utomo utomoning menungso.. Sebenarnya manusia yang paling mulia..itu seperti beriman seperti Muhammad bekerja seperti Yesus dan mencari Tuhan seperti Siddharta.. Di dalamnya harus ada.. Selain beriman… kan beramal.. Amalan-amalan soleh..” (Djaetun)
Sebuah filosofi Jawa yang Djaetun pegang untuk lebih banyak menolong orang lain adalah utomoning menungso, yang memiliki arti yaitu keutamaan dari manusia utama adalah
membantu sesama. Beliau memberikan gambaran seperti kehidupan Nabi Muhammad, Yesus dan Siddharta. Selain keimanan yang kuat, keinginan beramal baik merupakan landasan utama untuk Djaetun dalam menjalani kehidupan.
Dari pernyataan Djaetun, peran aktor sosial dalam Bali Buja diimplementasikan melalui konsep utomoning menungso sebagai taksu dalam pengelolaan amal baik dan pemberdayaan kelompok seni. Taksu merupakan istilah yang berarti daya atau kekuatan atau aura mengubah pola pikir peserta seniman lokal di Klaten. Keinginan untuk berbuat amal sebanyak mungkin menjadi landasan utama Djaetun. Sebagai sosok yang dianggap sesepuh di wilayah tinggal dan berpengaruh menciptakan kepercayaan bagi kelompok-kelompok seni untuk berkontribusi. Meskipun tidak menjadi bagian dari pemerintahan, namun, dengan taksu yang diterapkan dapat membuat masyarakat Klaten secara sukarela berkesenian.
Beberapa kegiatan kesenian didorong Djaetun, yaitu mulai dari pertunjukan wayang kulit, seni karawitan, kesenian daerah keroncong, wayang orang, festival gerobak sapi khas Klaten. Selain itu, Djaetun juga membangun sebuah tempat pertunjukan atau teater yang memfasilitasi semakin banyak kesenian. Dengan pola pikir yang sama atau tujuan sama, pembangunan teater ini menjadi harapan banyak orang dan harapan untuk mendapatkan nilai kebaikan yang semakin besar. Djaetun mengkaitkan keberadaan teater tentu akan mendorong banyak karyawan atau pekerja seni yang beraktivitas, sehingga ini akan membuat senang banyak orang.
Diskusi
Seperti yang telah diungkap sebelumnya, Bali Buja merupakan singkatan dari Paguyuban Peduli Budaya Jawa. Bali Buja disebut sebagai sebuah paguyuban masyarakat karena ditandai dengan kesamaan sikap para anggotanya terhadap pentingnya mempertahankan kesenian tradisional. Namun demikian, jika dikaitkan dengan konsep paguyuban atau gemeinschaft, bentuk organisasi seperti Bali Buja lebih dekat kepada model komunitas genossenschaft atau kooperatif (Adler, 2015). Paguyuban, lebih lanjut disebut oleh Adler memiliki bentuk organisasi yang secara militasi menentang inovasi. Peneliti mempertimbangkan konsep kooperatif atau kolaboratif ini. Dari beberapa inovasi yang dikembangkan oleh Bali Buja merupakan hasil kerja kolaborasi dari beberapa individu ataupun kelompok masyarakat.
Penelitian ini berangkat untuk menggali peran komunitas penggerak seni budaya dalam mengekspresikan budaya lokal melalui media komunitas berbasis teknologi, hal tersebut dilakukan di tengah semakin berkembangnya inovasi yang dikembangkan oleh media arus utama. Secara empiris produksi makna oleh media arus utama menghasilkan realita populer dan meredupkan kearifan lokal. Kehadiran sistem media komersial global seperti media arus utama, memang diakui tidak sepenuhnya menjadi negatif, ada bagian promosi pesan kebaikan yang muncul dalam konten, seperti pesan nasionalisme, pesan anti- rasis, anti-seksis yang memang masih bisa diterima (Iwabuchi, 2019; Kaur, 2020). Namun, sistem tersebut dianggap memiliki kelemahan dalam upaya mewakili kepentingan publik. Seperti secara kritis dikemukakan McChesney (1997) bahwa sistem media komersial global beroperasi untuk mempercepat tujuan pasar global dan melakukan promosi terhadap nilai komersial termasuk diantaranya mencemari jurnalisme dan budaya yang tidak kondusif.
Dalam menghadapi budaya populer yang masuk melalui globalisasi diperlukan ketahanan oleh masyarakat, merujuk kepada Quaritch Wales, bahwa kearifan lokal diperlukan dalam menghadapi pengaruh yang ditimbulkan dari budaya asing saat kedua budaya saling berhubungan (Ayatrohaedi, 1986). Dalam konteks globalisasi, muncul kekhawatiran dari masyarakat yang selama ini memiliki perhatian dengan keberadaan budaya lokal yang mengusung kearifan lokal berupa simbol kesenian (Karsidi, 2017) terancam karena harus berhadapan langsung dengan cepatnya arus budaya populer yang masuk (Ravi & Guru, 2016). Sarjana menyatakan simbol-simbol kesenian adalah bentuk eskpresi simbolik yang bersifat non-artefak (Muktiyo, 2014; Pawito, 2007; Zhang & Moe, 2017). Contohnya adalah tari, tembang, pentas teater/drama, musik, dan puisi. Dengan pemanfaatan teknologi masyarakat dapat beradaptasi dan transformasi dengan teknologi, strategi tersebut memberikan peluang lebih luas dalam misi pelestarian budaya lokal (Mubah, 2011; Surahman, 2016).
Dalam konsep pengajaran di Jawa dikenal memayu hayuning bawana. Konsep tersebut merupakan falsafah hidup yang berakar dari kearifan lokal (Endraswara, 2013). Memayu hayuning bawana menjadi panduan bagi masyarakat Jawa untuk hidup selaras dengan lingkungan, keseimbangan, dan tanpa terlibat pada suatu perilaku yang mengancam orang lain. Konsep ini mengajarkan harmoni atau keseimbangan. Endraswara (2013) lebih lanjut mengungkapkan bahwa orang Jawa percaya bahwa semua interaksi sosial dan dinamikanya didorong oleh konsep keseimbangan. Interaksi sosial dijaga agar tidak terjadi gejolak, kembali mengutamakan nilai keseimbangan dan kedamaian (S. S. Nugroho & Elviandri, 2018). Konsep ini konsisten dengan pandangan yang diungkapkan oleh Mulders (2010) dan Magnis Suseno (2004) bahwa cita-cita masyarakat Jawa cenderung menuju harmonisasi dan percaya setiap orang dengan segala minatnya merupakan kontributor yang berharga dari sebuah komunitas. Gotong royong yang diterapkan oleh komunitas Bali Buja adalah cermin dari kehidupan sosial memayu hayuning bawana. Membangun media komunitas sebagai sarana pelestarian tradisi adalah upaya penting dalam menjaga harmoni. Berdampingan dengan kemajuan teknologi yang dihasilkan oleh globalisasi, komunitas budaya memiliki pandangan bahwa teknologi yang tersedia merupakan peluang untuk menjaga nilai esensial kearifan lokal.
Akselerasi globalisasi serta teknologi komunikasi telah memfasilitasi pertukaran ide, pengetahuan, dan budaya antara populasi dan lintas batas, seringkali secara real time. Sebaliknya, media komunitas sering ditentukan oleh konten lokal mereka yang eksplisit. Media komunitas sering ditentukan oleh wilayah geografis tempat mereka diproduksi dan target khalayak. Meskipun demikian, media komunitas yang diproduksi secara lokal di satu bagian dunia terkadang dapat memiliki dampak sosial, budaya, atau ekonomi di tempat lain.
Studi lain menegaskan keberhasilan strategi dari media komunitas bergantung pada dua kriteria (Granger et al., 2018). Pertama, materi yang dihasilkan secara lokal harus menginspirasi dan membangkitkan kepercayaan pada target komunitas. Kedua, anggota masyarakat harus mengidentifikasi diri dengan peserta yang terlibat dalam produksi. Pemodelan peran yang ditunjukkan oleh aktor sosial juga menjadi gagasan penting dalam perubahan perilaku yang direpresentasikan dalam program media komunitas. Anggota komunitas termotivasi untuk mengikuti kegiatan komunitas ketika mereka melihat aktor sosial sebagai panutan.
Globalisasi mendorong pengelola media komunitas untuk menciptakan konten lokal agar dapat dipublikasikan secara lebih luas. Penelitian sebelumnya (Bogaerts, 2017) menunjukkan media arus-utama masih minim untuk sediakan ruang bagi budaya lokal. Sebgai bagian dari produk industri media, media arus utama melakukan seleksi terhadap konten budaya ke khalayak. Alih-alih memberikan tayangan yang memiliki tujuan mulia yaitu memperbaiki perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik, tetapi konten yang dihadirkan justru tayangan yang melanggar etika. Kekuatan pemodal di belakang kepemilikan media arus utama memengaruhi kebijakan konten media. Hal ini dapat dijelaskan dengan konten yang tidak lagi berbasis kepada kebutuhan masyarakat, melainkan sebagai media untuk memenuhi ambisi pemodal. Komodifikasi media menjadikan media arus utama tidak lagi disebut sebagai saluran utama masyarakat untuk memperoleh layanan informasi dan hiburan. Sedangkan media komunitas dalam beragam jenis teknologi, seperti radio komunitas, televisi komunitas ataupun media komunitas platform yang berbasis daring, modal dan sumber daya terpenting mereka yaitu pengetahuan dan kreativitas. Media komunitas tetap disebut sebagai bagian dari sebuah produk industri kreatif meskipun tujuannya tidak fokus kepada mendapatkan keuntungan finansial.
Industri kreatif semakin berkembang di era digital, namun demikian istilah industri kreatif telah menjadi bahan diskusi sejak tahun 1994 (Moore, 2014). Hartley (2005) menyebut industri kreatif sebagai gagasan manusia, kemampuan, pengalaman yang disertai usaha keras. Industri kreatif saat ini bergantung pada modal sosial, jaringan komunikasi, dan komunitas. Aktivitas Bali Buja merupakan bagian dari industri kreatif untuk tujuan penguatan identitas yang ditanamkan antar generasi. Merasa bahwa nilai keluhuran budi atau berperilaku merupakan kearifan lokal yang tertanam dalam seni budaya perlu dilestarikan. Bagi, masyarakat Bali Buja, seni dan budaya yang terekspresikan melalui seni karawitan, kemudian wayang kulit dan wayang orang adalah bagian dari wujud latihan toleransi antar warga. Seperti yang disampaikan oleh Sumarsam (2018) bahwa setiap irama dan tabuhan (pukulan) yang dilakukan oleh pengrawit memiliki makna. Kesadaran diri baik antara pengrawit, seperti gending dan pesindhen memerlukan keterlibatan toleransi rasa. Kebiasaan memainkan seni karawitan akan menjadi bermanfaat bagi kebutuhan psikologis masyarakat Bali Buja. Ada sesuatu keuntungan yang tidak didapatkan melalui uang, lebih dari sekadar kebutuhan finansial. Melainkan, kepuasan akan menyadari diri bahwa ketika memainkan musik dengan berhasil menyesuaikan irama, tujuan untuk ‘ngelaras’ menjadi pencapaian personal.
Peneliti melihat keinginan awal dari penggagas Bali Buja yaitu Djaetun pada dasarnya adalah keinginan pribadi untuk menyenangkan banyak orang, sesuai kemampuan Djaetun. Hal tersebut merupakan perwujudan rasa syukur dan pengabdian Djaetun sebagai seorang sesepuh dari Klaten yang telah merasa cukup bekerja dan berkarir di Jakarta, kemudian memilih untuk kembali ke kampung halaman. Selain tujuan menyenangkan banyak orang, Djaetun juga memiliki semangat moral yang menginginkan berbuat baik kepada banyak orang. Kecintaannya dengan seni tradisi, layaknya masyarakat Jawa pada umumnya, kemudian langkah untuk menyenangkan banyak orang diwujudkan melalui pembentukan paguyuban kelompok seni budaya di wilayah tempat tinggal. Jika dibandingkan dengan kegiatan sejenis, berdasarkan observasi sebelumnya peneliti menemukan kanal-kanal sejenis yang berkaitan dengan seni. Seniman wayang kulit, Ki Seno Nugroho juga dikenal secara luas melalui kanal khusus yang dibentuk melalui YouTube. Di Klaten pun, sudah mulai berkembang seniman-seniman lokal yang mulai menggunakan platform internet untuk menyiarkan kegiatan seni dan budaya. Namun, sesuai dengan pemaparan Djaetun sebelumnya bahwa perbedaan Bali Buja adalah untuk memberikan kesempatan kepada seniman-seniman muda, kelompok seni yang terpinggirkan dan tidak memiliki akses pada media arus-utama. Media arus-utama yang dimaksud dalam bagian ini adalah televisi nasional, televisi lokal, radio siaran swasta dan kanal YouTube.
Alih-alih sebagai senior seniman yang ingin melestarikan budaya Jawa, Djaetun menganggap Bali Buja justru lebih memilih untuk menggunakan paguyuban ini menjadi sebagai sarana silaturahmi untuk berbagi kebaikan. Seni pertunjukan seperti karawitan dan lainnya, jika terus dikembangkan kemudian dikelola secara berkelanjutan pada setiap generasi, akan memberikan peluang kearifan lokal dan keluhuran budi yang tersirat dalam seni bisa diaplikasikan seterusnya. Kekhawatiran akan globalisasi yang membawa aneka ragam budaya masuk ke daerah, kemudian beralih menjadi perwujudan masyarakat Jawa yang memahami keadaan atau disebut oleh literatur Jawa dengan ‘ngelmu kahanan’ sebuah konsep dari kultural Jawa yang bertujuan menyiasati keadaan.
Satu-satunya yang konstan dalam perkembangan sosial dan teknologi adalah perubahan. Lingkungan yang bergejolak memerlukan perubahan berkelanjutan pada tingkat individu – aktor sosial, generasi – dan pada tingkat masyarakat. Dinamika perubahan sosial membutuhkan respon yang cepat dari para aktor sosial, yang harus dibekali dengan pengetahuan dan kompetensi teknologi untuk merespon perkembangan sosial. Dalam masyarakat pengetahuan, para ahli yang berkualifikasi tinggi perlu terlibat dalam pembelajaran seumur hidup proaktif agar lebih mampu menghadapi perubahan sosial saat ini.
Banyak aktor terlibat dalam mewujudkan tujuan ketahanan budaya melalui pengembangan komunitas budaya. Pada bagian ini, penelitian fokus pada peran aktor sosial dalam pengembangan aktivitas seni dan budaya oleh Bali Buja. Studi ini menegaskan bahwa aktor sosial (Lamb & Kling, 2003) memainkan berbagai peran untuk menghasilkan produk melalui interaksi dengan aktor lain dalam berbagai konteks. Aktor-aktor sosial tersebut kemudian berinteraksi satu sama lain lintas tingkat organisasi maupun dengan aktor organisasi eksternal melalui berbagai mekanisme untuk bertukar sumber daya. Seorang profesional, kelompok perusahaan, atau anggota organisasi yang bekerja secara kolektif, atau organisasi yang berinteraksi dengan otoritas lingkungan adalah contoh aktor (Lamb, 2003). Lamb & Kling (2003) mendefinisikan aktor sosial ke dalam empat dimensi yaitu lingkungan, afiliasi, interaksi, dan identitas. Di dalam Bali Buja, aktor sosial tidak sebatas menjadi pengguna dari media komunitas ataupun sebagai khalayak; mereka juga dapat menjadi pencipta dan pelaksana, memainkan berbagai peran dalam penggunaan dan penerapan teknologi di dalam media komunitas.
Media komunitas disebut sebagai komunikasi perubahan sosial (Granger et al., 2018). Media komunitas menggabungkan kemampuan teknologi dalam menyampaikan pesan pemberdayaan masyarakat baik untuk kesejahteraan mereka dan meningkatkan semangat. Peneliti berargumen bahwa media komunitas sebagai media apa pun yang didukung teknologi yang dibuat, digunakan untuk keperluan komunitas. Beragam alat dan bentuk media komunitas menjadikannya pilihan menarik untuk komunikasi ketahanan budaya. Pengelola media komunitas terus berkembang saat mereka melakukan integrasi dan memanfaatkan teknologi media yang muncul dengan saluran komunikasi untuk melayani kebutuhan khusus komunitas dengan lebih baik. Kapasitas media komunitas untuk meningkatkan keterlibatan, akses, pembelajaran sosial, keterlibatan masyarakat semakin dimungkinkan dengan fungsi teknologi informasi dan komunikasi (Carpentier, 2015; Škripcová, 2016). Teknologi menguntungkan komunitas untuk menyesuaikan pendekatan media komunitas dengan budaya, lingkungan dan visi mereka sendiri. Kemampuan beradaptasi ini memungkinkan media komunitas berkembang dalam menanggapi perubahan kebutuhan masyarakat dan kemajuan teknologi. Media komunitas memposisikannya untuk terus berfungsi sebagai alat yang memungkinkan individu dalam berbagi pengalaman mereka guna operasionalkan fungsi ketahanan budaya. Bagian selanjutnya dalam penelitian ini, peneliti akan mensintesis penelitian tentang media komunitas, menawarkan prinsip dan rekomendasi yang praktis untuk membantu pengelola media komunitas dalam mengevaluasi penggunaan berbagai bentuk platform pada media komunitas.