4.2.2 Kreativitas Komunitas Budaya
Bali Buja memberikan ruang berekspresi kesenian untuk semua jenis seni. Seperti yang diungkap sebelumnya, Bali Buja dominan memberikan ruang bagi seni karawitan. Namun demikian, mereka juga peduli untuk memunculkan inovasi terhadap ekspresi kesenian di luar seni karawitan. Dalam pengamatan peneliti, Bali Buja juga mengadakan pertunjukan sendratari dengan tujuan memberikan kesempatan bagi seniman muda. Untuk mereka, ruang berekspresi bagi seniman muda merupakan salah satu bentuk upaya yang tidak kalah pentingnya untuk pelestarian seni tradisi.
“Pertama.. Dari Sanggar sanggar.. Sanggar itu seperti prajenan.. 1 sanggar itu mempunyai 12 anggota 12 nama klub.. 1 sanggar itu punya punya namanya satu apa a b c c.. jadi 12 ada.. Pernah 12 itu siaran di sini semua.. Tapi secara bergantian setiap malam Kamis lho ya.. tapi cuman yang yang yang yang jadi masalah kalau itu kan biasanya kan pelatihnya harus sama berarti kayak kita oplos.. Kita oplos tidak hanya monoton itu terus gitu lho.. Masalahnya kalau monoton kok yang lihat cuma ya itu saja.. Masa pengendangnya cuma itu.. Nah itu dari komunitas sanggar… Terus yang kedua dari desa atau kampung… nah dari kampung katakan.. Kampung A.. Kampung A ada 100 KK.. yang seneng karawitan itu 30.. 30 orang terus dikumpulkan 30 orang.. Tapi mengatasnamakan desa A gitu.. Terus ngundang pelatih sama pesinden..” (Sentot)
Bali Buja sebagai paguyuban berperan dalam mengumpulkan komunitas-komunitas seni yang memiliki kesamaan visi. Mereka memberikan ruang bagi komunitas yang merasa membutuhkan sarana berekspresi. Kesenian yang ditampilkan oleh penggerak seni dan budaya lebih dari sekadar menunjukkan keindahan, melainkan terhadap pesan yang ingin disampaikan dalam setiap konten.
Seni musik Jawa seperti karawitan menjadi bagian alat komunikasi masyarakat. Kesenian berupa gamelan Jawa atau karawitan merepresentasikan budaya Jawa dengan cara yang tidak dimiliki musik pada umumya (Pradana, 2021). Tembang Jawa sebagai aset budaya memiliki dampak sosial budaya, gamelan Jawa yang digunakan untuk melantunkan Karawitan pada pernah menjadi bagian media dakwah yang kemudian menjadi bagian dari identitas budaya Jawa (Udin et al., 2018; Wurianto, 2018). Tembang merupakan bentuk karya kreatif yang memadukan sajak dan lagu. Setiap tembang yang diciptakan memiliki maksud tertentu (Geertz, 1976), seperti sinom yang bernada moral dan ramalan. Kemudian bentuk dandang-gula yang berfungsi untuk pendidikan. Tembang kinanti yang diketahui bernada cinta. Lahirnya tembang-tembang yang mengandung beragam makna dan pesan spiritual, jika digaungkan dan kemudian disiarkan oleh penampil memberikan energi tersendiri bagi komunitas (Kartomi, 1973). Tembang sebagai bagian seni musik yang kemudian ditampilkan dalam sebuah pertunjukan khusus merupakan perwujudan pertunjukan sosial (N. Cook, 2012). Beberapa studi menyebutkan proses sosial yang terbentuk karena karya seni yang bermakna. Studi-studi tersebut menunjukkan tindakan keterlibatan individu ketika menggunakan objek seni, seperti musik, sebagai sumber daya dalam beragam aksi seperti konstruksi identitas, pengalaman ruang publik, serta penyaluran emosi (McCormick & Eyerman, 2006). Dengan demikian, setelah Cook, McCormik & Eyerman, peneliti melihat ekspresi seni yang ditampilkan oleh komunitas budaya merupakan bentuk kegiatan pertunjukan sosial.
Alih-alih berharap atas keuntungan finansial, komunitas yang bergabung dengan Bali Buja cenderung untuk ‘melampiaskan’ keinginan dalam berbagi perasaan. Latar belakang setiap anggota komunitas yang berasal dari beragam identitas, profesi, kemudian disatukan dengan produk budaya yang mengandung wawasan tradisional (Saddhono & Pramestuti, 2018). Komunitas budaya hadir membuka ruang bagi pertunjukan sosial sebagai fasilitas berbagi roso antar anggotanya. Atas dasar rasa kebersamaan, antar anggota komunitas kemudian menggunakan kesenian sebagai wujud guyub antar anggota. Melalui aktivitas komunitas budaya, setiap anggota komunitas akan merasakan tenang atau ayem, karena mampu berbagi perasaan baik sedih atau gembira kepada anggota lainnya.
Istilah “karawitan” memiliki definisi yang luas. Semua pengelompokan alat musik yang menjadi bagian dari karawitan digolongkan menjadi gamelan (Hatch, 1979). Istilah “gamelan” digunakan untuk menggambarkan berbagai macam ansambel musik yang pernah dianggap sebagai bagian dari genre karawitan. Etimologi kata “gamelan” ini masih belum jelas. Dalam musik Jawa, nama “gamelan” telah menggantikan frasa Jawa Kuno “gendhing”, “tabuhan”, “tatabuhan” dan “tabeh-tabehan” sebagai deskripsi kegiatan pembuatan suara termasuk penggunaan pemukul atau palu. Dalam perspektif sistem gendhing, karawitan menurut Becker (2019) adalah praktek menciptakan suara melalui penggunaan sistem tuning slendro dan pelog. Karawitan mengacu pada harmonisasi musik vokal atau instrumental (gamelan) yang menggabungkan slendro dan pelog. Karawitan merupakan salah satu budaya Jawa yang berkembang sebagai jawaban atas tuntutan dan keinginan selera estetika musik masyarakat pendukungnya. Karawitan menjadi manifestasi dan kristalisasi dari rasa estetika masyarakat Jawa. Sistem nilai dan pengalaman sejarah masyarakat Jawa pada akhirnya membentuk identitas Jawa yang tergambar melalui musik Karawitan (Daryanto, 2019).
Gamelan adalah musik tradisional Jawa yang juga sangat dinamis. Pada dasarnya gamelan memiliki peralatan dengan jenis yang tidak terlampau sulit diingat, alat utamanya bisa berupa rebab, saron, gambang, gong. Rebab dikenal sebagai ‘koordinator’ utama dari permainan gending. Ada sebuah cerita dan literatur yang turut mendukungnya, bahwa ketika pengrawit akan digantikan dengan pemain instrumen lainnya dapat langsung melanjutkan irama di-tengah permainan sebuah tembang.

Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti
Hal ini juga diungkapkan oleh Geertz (1976) yang menyebutkan gamelan merupakan sebuah paduan irama musik yang meskipun terlihat kompleks karena beragamnya nama peralatannya, namun, sebenarnya inti utama gamelan ada musik tabuhan. Esensi dari musik gamelan adalah kebersamaan, sesama bisa merasakan tabuhan yang dibuat, kemudian bersimpati satu sama lain.
Gamelan baik ketika dimainkan ataupun didengarkan merupakan sebuah disiplin spiritual (Geertz, 1976). Permainan gamelan yang lebih sering dimainkan di malam hari, pada dasarnya adalah sebagai ajang berlatih kedisiplinan dan pengendalian diri. Masyarakat Jawa, meyakini kekuatan mendengarkan musik gamelan adalah ketika dapat ikut merasakan kemudian dengan irama yang halus, secara psikologis membawa diri untuk lebih alus. Dalam bagian sebelumnya peneliti menyebutkan bahwa toleransi menjadi ‘bungkus’ utama dari pertunjukan seni. Ketika masyarakat tradisional Jawa begitu semangat merangkai upaya pelestarian seni tradisional, pada dasarnya tidak hanya terkait ketahanan budaya dan bagaimana mempersiapkan diri mereka ketika bertemu dengan era globalisasi. Melainkan, permainan gamelan difungsikan sebagai bagian alat mindfulness, sebagai ajang media masyarakat Jawa untuk lebih mampu melakukan evaluasi diri. Gamelan yang dimainkan pada malam hari juga memiliki tujuan. Salah satu tujuan memainkan alat gamelan pada malam hari adalah untuk melatih emosi baik pengendalian diri dan disiplin.
Dalam konteks gamelan sebagai bidang seni musik Jawa, dikenal dengan konsep garap. Garap menjadi bagian yang disebut penting dalam gamelan karena akan memberikan warna, kualitas, karakter, serta sosok dari gending. Vokal dan karya kreatif dari instrumen akan menghasilkan bentuk gending. Garap merupakan rangkaian upaya kreatif baik seseorang ataupun kelompok musisi untuk membentuk komposisi musik yang menghasilkan bentuk (bunyi), dengan kualitas tertentu untuk maksud, kebutuhan, dan tujuan penyajian musik (Supanggah, 2009). Menurut Sumarsam (2002), garap adalah konsep memainkan pola melodi secara kooperatif dan kolektif, dengan setiap pemain karawitan menafsirkan balungan (alat gamelan yang menghasilkan melodi). Setiap pengrawit memiliki keleluasaan dalam menafsirkan atau mengubah balungan. Konsep ini sejalan dengan kreativitas dan inovasi. Gamelan dan pengrawit mencerminkan prinsip gending yang mampu beradaptasi.
Hal ini juga serupa dengan pertunjukan seni dan budaya selain seni karawitan, karena atas dasar kebutuhan masyarakat, sehingga pemilihan konten yang ditampilkan tentu tidak sembarang atau asal-asalan. Sebagai bagian dari ekspresi seni dan budaya, aktivitas Bali Buja merupakan internalisasi kebudayaan seperti yang diungkapkan oleh Peursen (1976), kebudayaan merupakan endapan dari aktivitas serta karya manusia. Seniman menciptakan karya dengan dibekali dengan pengetahuan keilmuan yang didukung kreativitas. Olahan antara wawasan dan kreatif akan melahirkan karya seni yang memiliki nilai baru.
Bali Buja menerapkan pola konsep garap termasuk dalam pemilihan konten tembang ataupun judul pertunjukan dalam kegiatan seni selain karawitan. Misalnya, judul cerita yang akan dipilih dalam pertunjukan wayang kulit atau wayang orang, akan disesuaikan dengan tren ataupun issue yang sedang berkembang di masyarakat. Untuk jenis seni cokekan, sebuah kegiatan seni yang lebih dekat dengan tujuan spiritual, pesan yang disampaikan pun menjadi lebih spesifik lagi.
Bali Buja dalam aktivitas berkesenian menggunakan landasan konsep form follows meaning, sebuah konsep penciptaan karya seni bermakna yang diabadikan dari pengalaman spiritual atau religius (Ruttonsha, 2016; Sunarya, 2005). Bali Buja menerapkan kebebasan berkreasi dalam menampilkan tembang yang akan disajikan. Peserta kegiatan Bali Buja akan memastikan pesan dan makna apa yang akan ditampilkan kepada masyarakat melalui tembang-tembang. Namun demikian, ada pula arahan dari pengelola Bali Buja untuk menampilkan sebuah tembang wajib, yaitu tembang berjudul Lir Ilir.
Peneliti melihat peran Djaetun dan Sentot sebagai relawan donor dan juga anggota Bali Buja sebagai penentu arah konten Bali Buja. Beberapa tembang dipilih secara khusus oleh Djaetun, misalnya pemilihan tembang Lir Ilir sendiri juga dilatarbelakangi pengalaman spiritual. Misalnya pilihan tembang seperti Lir-Ilir yang selalu diupayakan untuk hadir dalam setiap penampilan.
Lir Ilir memiliki sejarah khusus bagi masyarakat Jawa, khususnya dikaitkan dengan aktualisasi nilai masyarakat Jawa. Pesan filosofis yang disampaikan oleh lagu Jawa Lir-Ilir adalah bahwa masyarakat Jawa harus selalu menjaga kesadaran berdasarkan tingkat keimanannya. Secara aksiologis, tembang Jawa Lir-Ilir mengandung nilai intrinsik yaitu nilai religi dan nilai instrumental, yang meliputi nilai budaya, sosial, nilai moral, dan analisis kritis tentang bagaimana nilai diaktualisasikan dalam masyarakat Jawa (Tavini, 2021). Untuk masyarakat Jawa di Demak, tembang Lir Ilir atau Ilir-Ilir adalah lagu gubahan Sunan Kalijaga untuk menjalan misinya yaitu memperkenalkan Islam di Jawa (Pebrianti, 2013). Pradjapangrawit memaparkan gagasan Sunan Kalijaga menggunakan gamelan karena dianggap sebagai warisan Jawa dan yang disukai orang Jawa (Pradjapangrawit, 1990). Pandangan pemilihan lagu khusus oleh informan lebih kepada alasan yang subjektif dari Bali Buja. Pemilihan tembang Lir Ilir didasarkan karena minat pribadi. Khalayak Bali Buja merasakan ‘roso’ yang berbeda ketika menikmati tembang tersebut, ada rasa nyaman dan rasa teduh yang mereka rasakan.
Gamelan dan seni karawitan menjadi jenis seni diunggulkan Bali Buja. Di samping itu, gamelan juga digunakan sebagai pengiring untuk kreativitas wayang kulit. Wayang kulit, sebuah pertunjukan seni yang digemari warga Klaten juga mendapatkan ruang dan perhatian bagi Bali Buja. Pada awalnya, Bali Buja juga pernah mengelola beberapa dalang untuk dipersiapkan tampil dalam pentas wayang kulit. Secara bergantian mereka memberikan kesempatan kepada dalang senior dan dalang muda. Aktivitas wayang kulit juga disiarkan melalui media komunitas. Tentu saja ini menjadi daya tarik bagi dalang yang akan tampil ataupun masyarakat luas. Jika sebelumnya masyarakat Klaten hanya mendapatkan siaran dari dalang-dalang yang dikenal, melalui siaran media komunitas ini kesempatan untuk mengenali dalang-dalang muda yang berpotensi menjadi terkenal.
Namun demikian, khalayak juga tidak kemudian serta merta memberikan respon positif untuk aktivitas wayang kulit bersama dalang muda. Salah satu evaluasi yang mendapatkan perhatian dari khalayak adalah penguasaan dan kesiapan dari dalang muda. Kurangnya latihan, kurangnya pendalaman cerita, dan jam terbang untuk “ndalang” yang masih minim menjadi kendala bagi dalang mudah untuk mendapatkan sambutan yang lebih banyak dari masyarakat.
“Karena dapat kritikan banyak.. Bahwasanya kita ya waktu itu sebenarnya untuk ajang berani ujicoba gitu yo.. Ternyata banyak yang mentah.. Jadi ya kita.. Ya diselingi setahun dulu.. Nanti mungkin mudah-mudahan dia sudah mulai mateng.. Selama 2 tahun.. Ada 24 dalang.. “
Seperti yang diungkapkan oleh Djaetun, pelaksanaan kegiatan wayang kulit bersama sekelompok dalang muda kemudian dihentikan terlebih dahulu untuk proses evaluasi. Oleh karena itu, kemudian solusi untuk keberadaan kegiatan wayang kulit dengan mengutamakan penampilan dalang senior.
Perkembangan pergerakan Bali Buja untuk seniman muda mendapatkan respon positif dari masyarakat. Seperti yang telah diungkap di atas, mereka bekerjasama juga dengan sekelompok seniman muda yang memiliki minat terhadap tari tradisional. Kegiatan sendratari termasuk menjadi aktivitas yang sering dilaksanakan oleh Bali Buja. Keterlibatan merek salahsatunya diwujudkan dalam sendratari berjudul “Jonggrang Love Story”. Sebuah cerita yang berlatarbelakang kisah cinta Roro Jonggrang.

Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti
Inovasi adalah hal utama yang selalu menjadi acuan Bali Buja dalam berkesenian. Sebagai contoh, cerita Roro Jonggrang yang ditampilkan Bali Buja pun memiliki alur yang sedikit diubah dari cerita yang telah lama dikenal masyarakat. Pengembangan cerita disebut sebagai bukti inovasi mereka. Mereka merancang ulang cerita dan mengemas versi dengan sudut pandang yang berbeda untuk mendapatkan alternatif pemahaman dan makna dari masyarakat. Bali Buja sadar bahwa pengolahan cerita yang berbeda untuk kisah legenda “Roro Jonggrang” akan memunculkan ragam respon. Lebih-lebih lagi, tidak jauh dari lokasi Bali Buja yaitu Prambanan, masyarakat luas sudah mengetahui bahwa ada kegiatan rutin sejenis yang relatif lama telah dilaksanakan oleh pengelola Candi Prambanan. Untuk menunjukkan bahwa kisah yang ditawarkan Bali Buja berbeda sudut pandang, mereka berupaya mengadakan beberapa strategi. Misalnya diskusi dengan akademisi, memperkenalkan cerita alternatif kepada tour guide, dan mendokumentasikan melalui teknologi media.
Bali Buja peduli terhadap penyajian konten kesenian. Mereka dengan cermat memilih jalur teknologi media yang tepat untuk menyiarkan aktivitas beragam seni tradisional yang dikelola. Untuk tujuan tersebut, Bali Buja menggunakan sarana media komunitas. Dalam bab sebelumnya telah disebutkan media komunitas merupakan sebuah media yang lahir atas kemandirian masyarakat dalam melahirkan konten-konten sebagai bentuk alat representasi diri kelompok komunitas. Sebagai bagian dari mobilitas sosial, komunitas kemudian memanfatkan media komunitas untuk menyempurnakan tujuan dan visinya dalam ‘berekspresi’. Dalam konteks berekpresi kesenian dan ketahanan budaya, seniman-seniman lokal yang tergabung dalam pengelola Bali Buja kemudian berupaya
melahirkan solusi dari optimalisasi teknologi berbasis internet. Alih-alih menggunakan sarana yang telah disiapkan oleh pemerintah misalnya melalui akses televisi nasional, televisi lokal ataupun radio siaran pemerintah daerah, komunitas memilih untuk bergerak menggunakan jalur independen. Hal ini dibangun berdasarkan semangat lokalitas dan gairah pribadi dari pengelola media komunitas. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, kelahiran Bali Buja ini terbentuk karena gairah dan semangat untuk berbagi kebaikan oleh inisiator Bali Buja. Tidak terpusat kepada keinginan untuk mendapatkan keuntungan atas siaran-siaran kesenian yang ditampilkan oleh Bali Buja, tetapi lebih kepada membuka jalur kebaikan atas rasa bahagia yang muncul dari setiap penampil.
Jika sebelumnya pertunjukan kesenian hanya dapat disaksikan dalam bentuk panggung-panggung terbuka yang terbatas dapat dikonsumsi oleh warga sekitar. Namun, keberadaan teknologi membantu Bali Buja untuk menunjukkan inovasi kepada warga yang lebih luas. Hasil olahan seni tersebut kemudian disiarkan dengan dukungan teknologi media. Inovasi yang ditempuh Bali Buja adalah upaya untuk mendekatkan seni tradisional bagi generasi muda. Adaptasi dengan penggunaan teknologi merupakan bagian ketahanan budaya. Mereka meyakini bahwa kehadiran teknologi tidak mengurangi makna dan esensi dari kesenian tradisional. Untuk satu hal, teknologi media justru memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendefinisikan ulang ‘anggota komunitas’. Dengan kata lain, jika sebelumnya mereka lebih fokus kepada komunitas warga di sekitar lokasi penampilan Bali Buja. Melalui teknologi, mereka akan lebih luas menjangkau komunitas masyarakat Jawa yang tersebar di lintas batas geografis. Teknologi digital memungkinkan kondisi tersebut.
Ketahanan budaya dapat direalisasikan melalui kolaborasi kooperatif antar anggota komunitas seni. Ketika generasi yang dianggap senior masih belum mengenal teknologi terkini, mereka pun memanfaatkan generasi muda yang cenderung lebih mahir mengoperasikan beragam peralatan pendukung siaran. Celah yang terjadi antara seniman senior dan yang lebih muda kemudian diarahkan kepada kesamaan tujuan Bali Buja. Partisipasi dalam Bali Buja dilaksanakan untuk melestarikan budaya dan tradisi yang mereka sebut dengan nguri-uri budoyo. Seniman muda dengan segala potensinya berupaya untuk menjaga eksistensi ekspresi seni dan budaya dengan memaksimalkan teknologi media yang menjadi penguasaannya. Hal ini ditunjukkan oleh pengelola radio komunitas yang memulai usahanya dengan menyiarkan secara live streaming pertunjukan wayang kulit, jika tidak secara langsung disiarkan, pengelola radio komunitas seperti RKB menggunakan cara dengan melakukan rekaman siaran wayang, kemudian disiarkan ulang melalui siaran khusus di RKB. Strategi yang dilakukan RKB kemudian dikembangkan Bali Buja untuk menyiarkan secara langsung kesenian karawitan.
Setiap unsur seni membawa simbol dan makna yang berbeda-beda, namun kesamaan yang didapat dari beragam unsur seni tersebut adalah nilai kearifan lokal seperti keluhuran budi. Tidak dipungkiri, nilai sejarah yang terkandung dalam ekspresi kesenian tradisional digunakan oleh masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan. Setiap seni yang digelar Bali Buja, selalu mengutamakan kepada landasan filosofi Jawa yang menjadi identitas anggota Bali Buja sebagai masyarakat Jawa. Secara selektif, Bali Buja menyoroti konten yang akan ditampilkan secara luas kepada masyarakat, misalnya menyoroti tembang- tembang yang akan dilantunkan melalui gending, cerita wayang yang akan ditampilkan harus memiliki bobot dan nilai kebaikan yang dapat dipelajari oleh khalayak.
Selama penelitian, peneliti juga mengamati beberapa perangkat gamelan yang memang disiapkan secara khusus oleh pengelola Bali Buja. Perangkat gamelan yang menjadi bagian utama untuk seni karawitan dan gending pengiring dalam wayang kulit serta sendratari, dijaga dan dirawat secara khusus. Perangkat gamelan yang digunakan oleh Bali Buja dimiliki oleh Djaetun sebagai inisiator Bali Buja.
Peran Djaetun sebagai inisiator Bali Buja dapat dikategorikan sebagai aktor yang berperan dalam menghimpun masyarakat, yaitu anggota komunitas Bali Buja. Berdasarkan hasil wawancara, salah satu alasan Djaetun dalam membangkitkan kesenian adalah tidak lain untuk memberikan kesempatan kepada warga sekitar dapat berekspresi. Esensi yang dipegang oleh Djaetun adalah nilai-nilai kebaikan. Sehingga, makna nguri-nguri budaya justru disebut sebagai bukan tujuan pertama. Tujuan utama membangun dan mengembangkan Bali Buja adalah sebagai sarana berbagi dan berekspresi bersama atas dasar kesamaan kesenangan yaitu menikmati seni dan budaya. Djaetun menilai nilai kebaikan terlihat ketika anggota masyarakat senang dalam menikmati kesenian dan juga tampil memainkan kesenian.
Kooperatif komunikasi yang terjadi di dalam Bali Buja terbangun karena semangat kebersamaan untuk menikmati seni dan budaya. Sama halnya ketika generasi muda yang dengan mudahnya dapat mengkonsumsi musik-musik yang sesuai trend, beberapa kalangan masyarakat Jawa melihat seni dan budaya yang disajikan melalui tembang Jawa, irama gending, irama karawitan, cerita wayang, cerita sendratari, seni tari merupakan ‘passion’ kreativitas warga Jawa. Sama-sama tidak ingin ‘kenyamanan’ yang didapatkan dari kesenian itu, sehingga komunitas berupaya untuk menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Sumber: Dokumenter Bali Buja
Langkah Bali Buja kemudian menjadi terlihat diferensiasinya ketika dibandingkan dengan beberapa gerakan kesenian yang serupa. Berdasarkan catatan peneliti, di Klaten tercatat terdapat beberapa seniman wayang yang telah memiliki kanal khusus di YouTube. Beberapa usaha pemerintah daerah Klaten juga diwujudkan dengan mengadakan kegiatan- kegiatan seni yang menjadi media hiburan bagi masyarakat Klaten. Namun, apa yang kemudian menjadi perbedaan yang terlihat? Gerakan komunitas selain Bali Buja merupakan sebuah usaha mainstream oleh seniman-seniman yang sudah dikenal banyak orang. Ketika seniman yang sudah terkenal kemudian diberikan panggung akan menjadi nilai yang berbeda jika yang tampil adalah kelompok-kelompok seni yang ‘masih belajar’ dan bahkan tidak ada tujuan utama untuk menjadi terkenal dan memperoleh profit.
Jika menggunakan istilah dari musik yang dianggap tidak sesuai pakem atau tren yang dikenal dengan alternatif, begitulah dengan gerakan ketahanan budaya yang dikembangkan Bali Buja. Kelompok-kelompok seni yang tidak memiliki kesempatan tampil dalam media mainstream, baik itu berupa media konvensional, ataupun panggung bebas, kemudian diberikan ruang di Bali Buja. Jika dibandingkan dengan seniman-seniman yang telah berhasil tampil dalam media arus utama tentu dianggap memiliki kualitas yang kurang baik. Namun kelompok seni tersebut, tanpa perlu mengakui kekurangan mereka, tetap berusaha untuk tampil menggunakan perangkat kesenian untuk berekspresi. Di balik semangat mereka untuk tampil di Bali Buja, tidak lain adalah berusaha untuk menularkan atau berbagi. Bagi kelompok tersebut, ketika berhasil memainkan sebuah tembang, merupakan bentuk pelampiasan atas keinginan untuk berbagi. Semangat ini selaras dengan semangat ‘alternatif’ dan semangat ‘komunitas’ yang tidak melihat benefit atas profit finansial. Namun, ketika kesempatan berbagi ekspresi kebahagiaan dan menyampaikan pesan keluhuran budi atas budaya menjadi tersalurkan.
Masyarakat yang hidup dan berkembang dalam sebuah ‘komunitas’ cenderung memiliki niat tulus. Hal ini, memang menjadi kekuatan atau modal tersendiri bagi komunitas ketika mengembangkan sebuah organisasi, seperti media komunitas. Namun demikian, tetap kendala administrasi ataupun teknis akan dihadapi oleh pengelolanya. Sebagai contoh, dalam radio komunitas, kendala yang akan dihadapi yaitu ketersediaan dan kesiapan sumber daya manusia dan problem finansial. Kemungkinan untuk mendapatkan bantuan berupa dana tentu dapat diupayakan, namun pengelola harus tetap dengan teliti siapa donatur yang memberikan termasuk tujuan. Independensi menjadi ciri khas dari media komunitas, untuk alasan tersebut pengelola akan bertahan menjaga identitas dan visi media komunitas. Sebaliknya, jika modal muncul dari pemberdayaan anggota seperti iuran anggota komunitas ataupun relawan donatur dari anggota komunitas menjadikan kontribusi yang riil bagi media komunitas.
Pergerakan Bali Buja dalam mengelola komunitas juga dilandasi semangat kebersamaan dan utamakan modal sosial. Partisipasi masyarakat untuk Bali Buja yang ditunjang ketersediaan dan dukungan dari relawan donatur memberikan kemudahan untuk mereka dalam mengembangkan berbagai inovasi. Kolaborasi antara masyarakat atau anggota komunitas sebagai kreator konten dan relawan donatur sebagai pendukung fasilitas, kemudian menghasilkan infrastruktur yang layak untuk proyek ketahanan budaya. Inisiator Bali Buja dan pengelola komunitas fokus kepada infrastruktur, sedangkan anggota komunitas berupaya mempersiapkan konten dan penampilan terbaiknya. Tidak ada aturan resmi dalam mengembangkan komunitas, sehingga modal sosial yang dikumpulkan oleh anggota komunitas menjadi bentuk nilai tambah bagi eksistensi komunitas.
Kebersamaan yang dibangun oleh komunitas Bali Buja, di mana didalamnya terdapat orangtua yang dianggap sesepuh kemudian sebagian anggota yang mewakili generasi muda, terjalin sebagai perwujudan sifat sejati orang Jawa yang oleh Benedict Anderson (1965) disebut sebagai toleransi. Toleransi dapat diajarkan dengan berbagai cara. Bagi Bali Buja, seni karawitan adalah perwujudan seni asli gamelan Jawa yang kemudian dianggap sebagai strategi baik dalam mengajarkan toleransi. Tidak hanya untuk tujuan pelestarian budaya dan menghibur penikmatnya, tetapi untuk para pemain karawitan, toleransi dapat diwujudkan melalui paduan irama yang dihasilkan. Setiap pertunjukan karawitan akan menuntut para pemain gamelannya untuk secara kooperatif memadu harmoni untuk tujuan pencapaian musik standar estetika karawitan Jawa. Di dalam gamelan terdapat istilah laras. Laras merupakan bentuk penanda sebagai pencapaian harmoni dari seluruh pemain gamelan. Keterpaduan nada dapat ditunjukkan dengan besar kecilnya teknik memukul alat musik karawitan. Setiap jenis alat tabuh atau gending tidak dengan sembarang dapat dipukul.